SUMATERA UTARA — Dunia pendidikan kembali tercoreng oleh kekerasan yang berujung maut. Di tengah slogan “Merdeka Belajar” yang terus digaungkan pemerintah, realitas di lapangan justru menunjukkan betapa lemahnya pengawasan dan pembinaan karakter di sekolah. Di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, dua pelajar SMKN 1 Pulau-Pulau Batu terlibat perkelahian yang berakhir tragis seorang siswa tewas di tangan teman sekelasnya sendiri.
Peristiwa memilukan itu terjadi pada Kamis (30/10/2025) pagi, sekitar pukul 09.00 WIB, di saat guru tak berada di dalam kelas. “Korban dan pelaku sedang berada di dalam kelas. Saat itu, bertepatan tidak ada guru yang tengah masuk ke kelas tersebut,” ungkap PS Kasi Humas Polres Nisel Aipda Apriandi Ginting, Jumat (31/10/2025).
Korban diketahui bernama Solidaritas (14), sementara pelaku berinisial AL (14). Insiden bermula dari ejekan sepele yang berubah menjadi kekerasan fatal. “Lalu, saat pelaku tengah makan di meja, korban menyampaikan kalimat ‘binatang kali kau’. Pelaku pun menanyakan alasan korban mengatakan dirinya ‘binatang’ dan melontarkan kalimat bahwa korban juga ‘binatang’,” jelas Apriandi.
Dari situlah amarah memuncak. Korban memukul kepala pelaku satu kali, lalu kembali memukulnya beberapa kali setelah pelaku berdiri. Namun ketika korban hendak kembali ke tempat duduknya, pelaku menahan tangannya dan menghajarnya bertubi-tubi hingga korban tewas di tempat. “Sudah diamankan, tapi karena masih di bawah umur pasti ada perlakuan khusus,” tutur Apriandi.
Peristiwa ini menyisakan pertanyaan serius: di mana guru, pengawas, dan sistem perlindungan anak saat konflik kecil berubah menjadi tragedi kemanusiaan? Fakta bahwa tidak ada tenaga pendidik di kelas pada jam belajar resmi menunjukkan kelalaian mendasar. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat mendidik dan membentuk karakter justru menjadi arena kekerasan yang dibiarkan tanpa pengawasan.
Ironisnya, pembinaan moral dan pendidikan karakter sering kali hanya berhenti di atas kertas. Dalam praktiknya, banyak sekolah di daerah terpencil kekurangan guru, tenaga bimbingan konseling, hingga fasilitas dasar untuk mendeteksi potensi konflik di antara siswa. Tragedi Nias Selatan ini menjadi potret buram dari sistem pendidikan nasional yang lebih sibuk mengejar nilai ketimbang membentuk nilai kemanusiaan.
Kekerasan antarsiswa bukan fenomena baru, tetapi setiap kali nyawa melayang, narasinya selalu sama: penyesalan datang terlambat, janji evaluasi muncul sesaat, lalu semuanya kembali seperti semula. Pemerintah daerah, dinas pendidikan, dan pihak sekolah mesti berhenti menutup mata terhadap krisis nilai dan lemahnya kontrol sosial di lingkungan pendidikan.
Kematian Solidaritas bukan sekadar akibat pukulan fisik, melainkan kegagalan kolektif sistem yang lalai mendidik anak-anak muda untuk menyelesaikan perbedaan tanpa kekerasan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan