BONTANG – Langkah besar industrialisasi kembali diambil PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) dengan memulai pembangunan Pabrik Soda Ash di kawasan industri Tursina Barat, Bontang. Namun di balik euforia seremoni groundbreaking yang dihadiri jajaran direksi dan pejabat daerah, muncul sejumlah catatan penting terkait arah dan manfaat nyata proyek ini bagi masyarakat sekitar.
Proyek yang diklaim sebagai bagian dari program hilirisasi industri kimia nasional ini dibangun melalui kerja sama konsorsium PT TCC Indonesia Branch dan PT Enviromate Technology, dengan kapasitas produksi mencapai 300.000 metrik ton per tahun (MTPY) untuk Soda Ash serta 300.000 MTPY Ammonium Chloride. Kedua produk tersebut akan dipasarkan untuk kebutuhan domestik dan ekspor menggunakan teknologi HOU Process.
Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, menegaskan bahwa proyek ini bukan sekadar investasi komersial, melainkan strategi nasional untuk memperkuat kemandirian industri kimia dalam negeri. “Pabrik ini tidak hanya memperkuat hilirisasi amoniak, tetapi juga menekan impor Soda Ash yang selama ini mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun,” ujarnya.
Meski demikian, kalangan pemerhati lingkungan dan ekonomi daerah menilai, proyek besar seperti ini sering kali tidak diiringi dengan transparansi mengenai dampak lingkungan dan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Di tengah ambisi menekan impor dan menambah nilai tambah amoniak, isu pemanfaatan lahan, keberlanjutan lingkungan, dan keterlibatan tenaga kerja lokal seharusnya menjadi perhatian utama.
Proyek yang berdiri di atas lahan seluas 16 hektare ini disebut akan menyerap 800 tenaga kerja selama tahap konstruksi dan hanya 86 tenaga kerja saat operasional angka yang dinilai terlalu kecil untuk proyek industri senilai triliunan rupiah. Selain itu, durasi pembangunan mencapai 33 bulan dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) hanya 27,59 persen hingga 35,01 persen, yang artinya sebagian besar komponen proyek masih bergantung pada impor.
PKT menargetkan pabrik mulai beroperasi secara komersial pada Maret 2028, dan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 174.000 ton CO₂ per tahun melalui pemanfaatan CO₂ sebagai bahan baku produksi Soda Ash. Klaim ramah lingkungan ini perlu diawasi secara ketat, mengingat banyak proyek industri kimia serupa di Indonesia yang justru menambah beban pencemaran di kawasan pesisir dan laut.
Soda Ash sendiri merupakan bahan baku penting industri kaca, keramik, tekstil, deterjen, hingga pupuk komoditas strategis yang selama ini masih banyak diimpor. Namun, efektivitas proyek ini dalam mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat rantai industri nasional masih perlu pembuktian, terutama jika porsi ekspor justru lebih besar daripada pasokan domestik.
Wali Kota Bontang, Neni Moerniaeni, menilai kehadiran PKT dan proyek baru ini akan berkontribusi pada peningkatan ekonomi daerah. “Kalau dengan migas fluktuatif jadi kadang-kadang kita positif 2 persen, tetapi kalau dipisahkan tanpa migas alhamdulillah kita melebihi nasional 9,8 persen,” ujarnya.
Meski begitu, sejumlah ekonom menilai pertumbuhan ekonomi daerah seharusnya tidak hanya diukur dari angka makro, melainkan dari seberapa besar manfaat langsung industri besar bagi masyarakat Bontang, terutama dalam bentuk peningkatan UMKM, serapan tenaga kerja lokal, dan kontribusi CSR yang berkelanjutan.
Pemerintah daerah pun diingatkan agar tidak hanya menjadi penonton di tengah geliat investasi besar seperti ini, tetapi aktif memastikan keterlibatan masyarakat lokal dalam rantai pasok dan pengawasan lingkungan agar Bontang tidak hanya menjadi kota industri, melainkan juga kota yang sejahtera dan lestari. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan