KAPUAS — Di tengah perjuangan petani kecil menantang kerasnya cuaca dan harga pupuk yang terus naik, kejatuhan harga cabai di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menambah deretan ironi di sektor pertanian nasional. Aksi protes para petani dengan mencabut pohon cabai dan membuang hasil panen ke tanah bukan sekadar luapan emosi, melainkan bentuk keputusasaan atas sistem pasar yang dinilai abai terhadap nasib mereka.
Video yang diunggah akun Instagram @habarbjm pada Sabtu (01/11/2025) memperlihatkan sejumlah petani di ladang tengah memetik cabai merah yang masih segar. Namun, bukannya dikumpulkan untuk dijual, hasil panen tersebut justru mereka lemparkan begitu saja ke tanah. Sebagian petani tampak mencabut tanaman cabai yang masih subur, seolah kehilangan semangat untuk terus bertani.
Harga cabai yang anjlok hingga hanya Rp15 ribu per kilogram membuat hasil kerja mereka terasa sia-sia. “Sejumlah petani di Kapuas, Kalimantan Tengah mencabut bibit hingga membuang cabai yang baru dipanen. Aksi itu merupakan bentuk protes dan rasa kecewa sebab harga cabai yang sangat anjlok. Mereka bilang kini cabai hanya dijual sekitar Rp15 ribu per kilogram,” tulis keterangan dalam unggahan tersebut.
Kondisi ini menyoroti lemahnya sistem tata niaga hasil pertanian di Indonesia, di mana petani yang seharusnya menjadi ujung tombak ketahanan pangan justru menjadi pihak paling rentan saat harga jatuh. Tidak ada jaminan harga minimum, tidak ada mekanisme perlindungan pendapatan, dan tidak ada strategi penyerapan hasil panen yang jelas dari pemerintah daerah maupun pusat.
Para petani pun menyerukan agar pemerintah turun tangan. Mereka berharap ada intervensi dari Bupati Kapuas H. Muhammad Wiyatno, Gubernur Kalimantan Tengah Agustiar Sabran, hingga Menteri Pertanian untuk membantu menstabilkan harga cabai. Bentuk kebijakan yang diharapkan antara lain subsidi bagi petani kecil, pengaturan stok dan distribusi pasar, serta program penyerapan hasil panen agar tidak terbuang sia-sia.
Tanpa kebijakan yang berpihak, sektor pertanian akan terus menjadi ladang penderitaan. Petani menanggung rugi saat harga jatuh, tetapi tidak pernah menikmati untung secara berkelanjutan saat harga naik. Sementara itu, rantai pasok yang panjang membuat keuntungan justru dinikmati tengkulak dan pedagang besar.
Fenomena petani membuang cabai ini bukan yang pertama terjadi. Setiap tahun, peristiwa serupa berulang di berbagai daerah, terutama ketika musim panen raya tiba dan pasokan melimpah. Ironisnya, tidak pernah ada kebijakan jangka panjang yang benar-benar menyentuh akar masalah: ketimpangan pasar dan lemahnya keberpihakan negara terhadap petani.
“Kalau pemerintah hanya hadir saat panen gagal, lalu menghilang ketika harga jatuh, sampai kapan petani bisa bertahan?” ungkap salah seorang petani yang tak mau disebut namanya.
Sementara itu, penurunan harga cabai kali ini diduga akibat panen besar di sejumlah wilayah, berkurangnya daya beli masyarakat, serta intervensi pasar untuk menjaga stabilitas harga bahan pokok. Namun, stabilitas bagi siapa yang sebenarnya dijaga? Bagi konsumen di kota, atau bagi petani yang kini kehilangan harapan?
Tumpukan cabai merah yang berserakan di tanah di Kapuas menjadi simbol kegagalan sistem pangan nasional bukan karena tanah tak subur, melainkan karena kebijakan yang tak berpihak pada akar rumput. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan