KUTAI TIMUR – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Timur, Jimmi, menyoroti penerapan teknologi Operator Personal Assistant (OPA) oleh PT Pamapersada Nusantara (PAMA) yang digunakan untuk memantau durasi tidur karyawan. Sistem ini mewajibkan setiap pekerja mencatat dan mengunggah data jam tidur minimal 5 jam 30 menit per hari sebagai dasar penilaian kelayakan kerja. Bila tidak memenuhi standar, pekerja berisiko mendapat sanksi, mulai dari pemotongan upah hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
Jimmi menilai kebijakan tersebut terlalu menekan ruang pribadi pekerja dan berpotensi mengabaikan sisi kemanusiaan. Ia menilai sistem pemantauan digital itu bisa menjadikan manusia “setengah robot” karena pekerja terus diawasi tanpa mempertimbangkan dinamika kehidupan mereka di luar jam kerja. “Kita terus terkontrol beberapa jam, di mana kita berharap ini sebenarnya ada validasi terhadap permasalahan-permasalahan rumah tangga dan gangguan lain di malam hari,” ujarnya saat rapat dengan pihak perusahaan, Kamis (13/11/2025).
Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara disiplin kerja dan hak privasi individu. Menurutnya, aktivitas spiritual seperti salat tahajud, kewajiban rumah tangga, atau kebiasaan pribadi lain dapat memengaruhi catatan jam tidur, dan hal itu seharusnya tidak dijadikan dasar sanksi. “Itu tentu hak-hak privasi yang selama ini kita jaga sebaik-baiknya,” katanya.
Politikus Kutai Timur itu juga menilai sistem OPA perlu dievaluasi agar tidak diterapkan secara kaku tanpa sosialisasi menyeluruh. Ia bahkan membandingkan penggunaan teknologi tersebut dengan perangkat pemantauan bagi narapidana di luar negeri. “Teknologi ini di luar negeri dipakai untuk menjaga narapidana yang wajib lapor, terutama predator anak di bawah umur. Ini kan kesannya seperti itu, kita seolah tidak punya kebebasan sosial dan privasi,” tuturnya.
Lebih lanjut, Jimmi meminta perusahaan melakukan uji coba penerapan OPA dengan melibatkan pekerja dalam proses penilaian. Ia mengatakan banyak karyawan merasa tidak nyaman, tetapi enggan menyampaikan keluhan karena khawatir akan diberi sanksi. “Banyak yang mungkin tidak berani menyampaikan karena takut dipecat atau dikriminalisasi. Teknologi ini mohonlah digunakan dengan hati,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa hubungan baik antara manajemen dan pekerja harus tetap dijaga agar teknologi tidak menciptakan jarak sosial di lingkungan kerja. “Kita berharap pihak manajemen menambahkan sedikit perasaan, memakai hati nurani dalam menerapkan aturan. Masalah kecil seperti ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan komunikasi dan musyawarah,” ujarnya.
Sementara itu, Human Capital Department Head PT PAMA, Tri Rahmat, menegaskan bahwa sistem OPA bukan bentuk pengawasan berlebihan, melainkan bagian dari langkah perusahaan menjaga keselamatan kerja. “Jadi kalau kita berbicara OPA, itu hanyalah salah satu tools kami. Di mana dengan mengikuti perkembangan digitalisasi dan perkembangan zaman, tentunya kami mengharapkan sebuah pencatatan yang presisi dan objektif,” jelas Tri.
Ia menjelaskan bahwa OPA digunakan untuk memastikan pekerja, terutama operator alat berat, dalam kondisi fit sebelum bekerja. “Seiring dengan tantangan operasional yang cukup tinggi, dengan beberapa kejadian kecelakaan kerja yang tentunya membuat kami harus melakukan sebuah improvement dalam memastikan kesiapan karyawan secara presisi. Salah satunya adalah dengan bantuan teknologi,” ujarnya.
Tri menambahkan, penerapan sistem ini bersifat fleksibel dan disertai mekanisme klarifikasi. “Kami ada klarifikasi, kami ada validasi, bahkan kami menyediakan tempat khusus untuk bisa memastikan apakah benar si karyawan itu kesulitan tidur,” ungkapnya. Ia menegaskan, tujuan utama penerapan OPA adalah menjaga keselamatan dan kesehatan kerja. “Artinya, effort kami untuk menjaga aspek keselamatan, untuk kepentingan dari individu karyawan maupun kepentingan perusahaan sudah kami jalankan dengan sebaik-baiknya,” pungkasnya.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan