GAZA — Pembubaran Yayasan Kemanusiaan Gaza (Gaza Humanitarian Foundation/GHF) menambah daftar panjang dinamika penyaluran bantuan internasional di Jalur Gaza. Organisasi yang sejak awal didukung Israel dan Amerika Serikat itu resmi mengumumkan berakhirnya operasi mereka setelah hampir tujuh bulan menjalankan distribusi makanan di wilayah konflik tersebut.
GHF sebelumnya menjadi sorotan sejak mulai beroperasi pada Mei lalu. Penugasan lembaga itu memicu perdebatan lantaran dianggap membawa pendekatan berbeda dari mekanisme bantuan kemanusiaan lembaga-lembaga internasional yang telah lama bekerja di lapangan.
Dalam pernyataannya, Direktur Eksekutif GHF John Acree menegaskan bahwa lembaganya didirikan untuk memberikan respons cepat terhadap kebutuhan mendesak warga Gaza. “Sejak awal tujuan GHF adalah untuk memenuhi kebutuhan mendesak, membuktikan bahwa pendekatan baru dapat berhasil di mana pendekatan lain telah gagal, dan pada akhirnya menyerahkan keberhasilan itu kepada komunitas internasional yang lebih luas,” ujarnya, Selasa (25/11/2025).
Acree mengaitkan keputusan pembubaran lembaga tersebut dengan perkembangan terbaru setelah ketentuan gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang diberlakukan pada Oktober lalu. Ia juga menyinggung pembentukan Pusat Koordinasi Sipil-Militer yang didukung AS, yang dinilai mengambil alih koordinasi utama penyaluran bantuan.
“Oleh karena itu, kami menghentikan operasi kami karena kami telah berhasil dalam misi kami untuk menunjukkan bahwa ada cara yang lebih baik untuk menyalurkan bantuan kepada warga Gaza,” kata Acree, dikutip Al Jazeera. Ia turut mengklaim bahwa GHF merupakan satu-satunya lembaga yang mampu memberikan bantuan makanan gratis secara aman dan langsung kepada warga Palestina dalam skala besar.
Namun, klaim itu bertentangan dengan kritik dari banyak pihak, termasuk para ahli di Perserikatan Bangsa Bangsa. Pada Agustus lalu, 28 pakar PBB menyerukan agar GHF dibubarkan karena dianggap menjadi “contoh yang meresahkan tentang bagaimana bantuan kemanusiaan dieksploitasi untuk agenda militer dan geopolitik terselubung.”
Para pakar menyebut operasi GHF berlangsung di tengah situasi keamanan buruk, di mana pasukan Israel maupun kontraktor militer asing disebut terus menembaki warga yang berusaha memperoleh bantuan di lokasi distribusi.
Laporan lain mencatat sedikitnya 859 warga Palestina tewas di sekitar titik operasi GHF sejak lembaga itu mulai beroperasi. Para pakar juga menilai metode distribusi yang memaksa pengungsi bergerak ke lokasi tertentu telah mempertaruhkan keselamatan warga, berbeda dengan pendekatan lembaga kemanusiaan seperti PBB yang menekankan pengiriman bantuan langsung ke komunitas terdampak.
Keputusan GHF untuk menghentikan operasinya pun menambah pertanyaan mengenai model bantuan yang paling efektif dan aman di tengah konflik Gaza yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda. []
Admin04
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan