SAMARINDA – Kasus ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta beberapa waktu lalu mendapat perhatian serius dari kalangan pendidik di berbagai daerah. Insiden tersebut memicu diskusi luas mengenai pentingnya sistem perlindungan psikologis dan pembinaan siswa melalui layanan Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMAN 11 Samarinda, Hendra Putra Sastranegara, menilai bahwa peristiwa tersebut harus menjadi momentum penting untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pola penanganan siswa di setiap sekolah. Menurutnya, peran guru BK memegang posisi strategis dalam mencegah terjadinya tindakan ekstrem yang disebabkan tekanan psikologis maupun konflik sosial di lingkungan pendidikan.
Hendra menegaskan bahwa kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta tidak dapat dilihat hanya sebagai tindak kriminal semata. Ia menilai kejadian itu merupakan sinyal bahwa ada siswa yang tidak mendapatkan ruang aman untuk berbicara, mengungkapkan beban pikiran, atau mencari solusi atas masalah yang dihadapi.
“Dari apa yang diberitakan di media, kasus itu muncul dari kondisi siswa yang seharusnya memiliki tempat untuk mengutarakan masalah, tetapi tidak mendapatkannya. Ketika ruang bercerita tidak ada, siswa bisa mengambil keputusan yang salah atau melakukan tindakan berbahaya,” ujar Hendra kepada media ini saat ditemui di SMAN 11 Samarinda, Jalan Pelita 4, Sambutan, Samarinda, Jumat (28/11/2025).
Hendra menjelaskan bahwa peran guru BK di banyak sekolah saat ini masih belum optimal. Selain karena beban kerja tinggi, rasio guru BK dan jumlah siswa sering tidak seimbang. Bahkan di sejumlah sekolah, ruang konseling belum tersedia secara layak sehingga siswa tidak merasa nyaman untuk membuka diri.
Ia menyebutkan bahwa sekolah harus menyediakan fasilitas konseling yang memadai, lengkap dengan sarana yang mendukung rasa aman dan kerahasiaan. Menurutnya, keberadaan ruang yang nyaman dan privasi terjaga adalah syarat penting agar siswa berani datang dan berdiskusi dengan guru BK mengenai persoalan yang mereka alami.
“Setiap sekolah dapat menyediakan ruangan konseling yang layak, lengkap dengan sarana pendukung agar siswa merasa aman saat bercerita. Guru BK juga perlu masuk kelas secara berkala untuk memberikan pemahaman mengenai karakter, pencegahan kekerasan, dan pentingnya meminta bantuan,” tegas Hendra.
Selain pelayanan konseling, Hendra juga menyoroti persoalan bullying yang dianggap sebagai akar dari banyak kasus psikologis siswa. Ia menyebut perilaku perundungan kerap berkembang karena adanya kesempatan, kurangnya pengawasan, serta ketimpangan relasi sosial di antara siswa. Hal tersebut dapat menimbulkan efek jangka panjang yang sangat serius, mulai dari trauma, depresi, hingga tindakan fatal.
“Bullying adalah kejahatan yang merusak psikologis anak didik. Korban yang terus-menerus ditekan bisa mengalami depresi, melakukan tindakan berbahaya, atau bahkan bunuh diri. Ini sudah banyak terjadi dalam lima tahun terakhir,” kata Hendra.
Oleh sebab itu, ia menegaskan bahwa sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat harus bekerja sama menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat dan bebas dari kekerasan. Menurutnya, pendekatan pencegahan jauh lebih penting dibandingkan tindakan penindakan setelah terjadi masalah.
“Saya sangat tidak sepakat dengan adanya bullying dalam bentuk apa pun. Lingkungan sekolah harus bersih dari kekerasan,” tutup Hendra.
Hendra berharap kasus di SMAN 72 Jakarta menjadi pelajaran berharga untuk memperkuat sistem layanan konseling dan pendampingan siswa, sekaligus membangun budaya sekolah yang lebih manusiawi, terbuka, dan responsif terhadap kebutuhan psikologis peserta didik. Ia meyakini bahwa menciptakan ruang aman bagi siswa adalah langkah fundamental untuk membangun generasi yang sehat, berkarakter, dan berprestasi. [] ADVERTORIAL
Penulis: Guntur Riyadi | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan