HAT YAI — Gelombang banjir bandang yang melanda Thailand selatan kembali menegaskan rapuhnya kesiapsiagaan bencana di kawasan tersebut. Lebih dari 160 orang dilaporkan meninggal dunia, dengan Provinsi Songkhla menjadi wilayah yang menanggung korban terbanyak. Di daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu, ketinggian air dilaporkan mencapai tiga meter dan mengakibatkan 162 korban jiwa dalam salah satu bencana terburuk dalam sepuluh tahun terakhir.
Juru bicara pemerintah Thailand, Siripong Angkasakulkiat, menjelaskan bahwa “Total korban tewas di tujuh provinsi mencapai 162 orang, termasuk 126 di Songkhla,” sebagaimana diberitakan AFP pada Sabtu (29/11/2025). Kondisi tersebut membuat sejumlah daerah yang sebelumnya jarang terdampak kini ikut lumpuh, termasuk fasilitas kesehatan. Para pekerja di sebuah rumah sakit di Hat Yai bahkan terpaksa memindahkan sejumlah jenazah ke truk berpendingin karena kamar mayat sudah tak mampu menampung.
Situasi kritis ini mendorong Perdana Menteri Anutin Charnvirakul menyampaikan permintaan maaf resmi kepada masyarakat. “Setiap kali ada kerugian, kematian, atau cedera, itu selalu kesalahan perdana menteri,” katanya Charnvirakul. Ia juga berjanji, “Saya akan mengerahkan seluruh keahlian dan dedikasi saya untuk memperbaiki situasi,” sembari menetapkan target dua minggu untuk proses pembersihan.
Pemerintah Thailand kemudian mengumumkan paket bantuan bagi para korban banjir, termasuk kompensasi hingga dua juta baht bagi keluarga yang kehilangan anggota keluarga. Namun kebijakan tersebut tidak menghentikan meningkatnya kritik publik terhadap buruknya penanganan bencana. Dua pejabat daerah telah diberhentikan sementara atas dugaan kegagalan dalam respons awal banjir.
Data dari pusat operasi penanggulangan banjir menunjukkan lebih dari 40.000 orang telah mengungsi ke pusat evakuasi, meskipun sebagian di antaranya mulai kembali ke rumah seiring surutnya genangan. Dampak ekonomi juga meluas. Di kawasan komersial, para pemilik usaha mulai menghitung kerugian. Rachane Remsringam, seorang pemilik toko kelontong, tampak memilah sampah yang memenuhi lorong tokonya. Ia meratapi kerugian ratusan ribu dolar akibat barang dagangan yang rusak.
Kritik serupa datang dari ranah politik. Seorang anggota parlemen dari Partai Rakyat oposisi menuding pemerintah “salah memperkirakan situasi” dan membuat “kesalahan dalam menangani krisis banjir”.
Thailand memang kerap menghadapi risiko banjir selama musim hujan yang berlangsung antara Juni hingga September. Namun tahun ini, badai tropis ikut memperburuk keadaan. Kondisi serupa terjadi di beberapa negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia, di mana jumlah korban banjir dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren meningkat. Perubahan iklim yang mengacaukan pola cuaca termasuk durasi dan intensitas hujan dipandang sebagai faktor yang memperbesar risiko tersebut.
Warga di berbagai lokasi terdampak turut merasakan perbedaan ekstrem bencana tahun ini. “Sejak saya kecil hingga sekarang berusia 30 tahun, ini adalah banjir terburuk yang pernah terjadi di desa kami,” kata Novia di Aceh. “Sebelumnya memang pernah terjadi banjir… tapi tidak seperti ini.”
Banjir besar yang melanda kawasan Asia Tenggara ini menjadi pengingat penting bahwa mitigasi bencana tidak dapat lagi bergantung pada pola cuaca lama. Dengan ancaman iklim yang semakin tidak menentu, kapasitas pemerintah dalam memprediksi, merespons, dan memulihkan kondisi pascabencana kini menjadi penentu keselamatan jutaan warga. []
Admin04
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan