BERLIN — Dunia pendidikan di Jerman kembali diguncang kenyataan kelam. Sebuah studi terbaru mengungkap fakta mengejutkan: setidaknya satu anak di setiap kelas di Jerman atau satu dari 25 hingga 30 siswa pernah mengalami kekerasan seksual, baik oleh guru, staf sekolah, maupun teman sekelas. Temuan ini menyoroti bahwa sekolah yang seharusnya menjadi ruang paling aman justru menjadi tempat awal trauma yang merusak masa depan.
Laporan tersebut dirilis oleh Komisi Independen untuk Penyelidikan Kekerasan Seksual pada Anak, yang menyatakan bahwa kasus-kasus tersebut meninggalkan dampak panjang dan berat dalam kehidupan korban, termasuk hancurnya karier dan masa depan.
Komisi itu menegaskan bahwa sistem perlindungan di sekolah Jerman sering gagal memberi rasa aman kepada para korban. Alih-alih melindungi anak-anak, sistem justru memprioritaskan citra institusi.
“Sering kali ada saksi yang lebih mementingkan solidaritas rekan kerja daripada perlindungan anak-anak, mengabaikan atau bahkan menutupi kekerasan demi menjaga reputasi sekolah,” jelas anggota komisi dalam konferensi pers, Rabu (04/12/2025).
“Kami menemukan bahwa korban mencari strategi sendiri untuk menghindari kekerasan, seperti bolos sekolah atau tinggal kelas.”
Para penulis studi mengevaluasi 133 laporan dan kesaksian korban kekerasan seksual di sekolah di seluruh Jerman termasuk wilayah bekas Jerman Timur antara tahun 1949 hingga 2010. Hampir 80 persen korban adalah perempuan, sedangkan mayoritas besar pelaku adalah laki-laki, baik dari kelompok teman sebaya maupun guru.
Hasil studi menyebut bahwa hampir 70 persen korban meyakini pihak sekolah mengetahui adanya kekerasan, namun tetap bungkam. “Tapi semua korban yang kami wawancarai mengatakan bahwa sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan bantuan dan dukungan yang kompeten,” kata Julia Gebrande, Ketua Komisi Independen kepada DW.
Laporan itu menggambarkan satu kasus di tahun 1990-an: seorang guru menerima keluhan siswi kelas enam mengenai guru olahraga yang terus masuk ke ruang ganti perempuan tanpa izin. Setelah menyaksikan sendiri kejadian itu dan melaporkannya, ia malah dituduh merusak nama baik sekolah.
Guru itu diberitahu bahwa rekannya “tidak akan melakukan hal seperti itu,”, bahwa ia “hanya terlalu sensitif soal masalah ini,”, dan bahkan diminta “meminta maaf” kepada pelaku.
“Ini biasanya taktik pelaku kekerasan: Menampilkan diri sebagai sangat peduli dan siap membantu. Mereka membuat diri mereka tak tergantikan. Anda bahkan tidak akan menyangka bahwa rekan sekerja yang begitu menyenangkan bisa melakukan kekerasan,” tambah Gebrande.
Isu kekerasan seksual di sekolah menjadi sorotan publik pada 2010 setelah terungkapnya kasus di Canisius-Kolleg Berlin, yang kemudian membuka ratusan pengakuan baru terbesar berasal dari sekolah asrama Odenwaldschule di Negara Bagian Hessen.
Sejak itu, pemerintah Jerman membentuk Komisaris Federal Independen untuk Melawan Kekerasan Seksual pada Anak pada 2010, dan Komisi Independen untuk Penyelidikan Kekerasan Seksual pada Anak pada 2016.
Sebuah studi oleh Institut Pemuda Jerman tahun 2023–2024 menunjukkan satu dari dua remaja dari 1.600 responden pernah mengalami kekerasan seksual dalam setahun terakhir, namun penelitian khusus mengenai kekerasan seksual di sekolah masih sangat minim.
“Masih belum ada struktur yang memadai untuk menangani masalah ini di sekolah atau di otoritas pengawas sekolah,” kata Gebrande.
“Itulah sebabnya kami ingin hal ini menjadi elemen kunci dalam pelatihan guru.”
Salah satu korban, Julia, mengungkap pengalaman kelam pada 1970-an ketika guru seni berusia 32 tahun menjalin hubungan seksual dengannya saat ia berusia 13 tahun, yang ia pikir sebagai hubungan romantis hingga bertahun-tahun kemudian.
Korban lain, Lea seorang perempuan trans mengalami kekerasan seksual berulang oleh sekelompok siswa laki-laki.
Guru yang ia percaya justru mengatakan bahwa masalah itu harus diselesaikan sendiri oleh anak-anak, dan bahwa konflik antar laki-laki adalah hal biasa. “Saya merasa terlantar, rentan, dan tak berdaya,” tuturnya.
Pada Juli tahun ini, Jerman memberlakukan undang-undang baru untuk memerangi kekerasan seksual pada anak, termasuk pembentukan dewan penasihat penyintas dan studi tahunan mulai 2026. “Menurut pengalaman kami, penyelidikan biasanya hanya dilakukan ketika korban memberi tekanan kepada institusi melalui media,” pungkas Gebrande. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan