KOTAWARINGIN TIMUR – Gelombang duka yang melanda Sumatera Barat, Sumatra Utara, dan Aceh akibat banjir bandang dan tanah longsor pada akhir November 2025 kini menjelma menjadi alarm keras bagi daerah lain, termasuk Kalimantan Tengah. Tragedi yang menelan ratusan korban jiwa itu menjadi bukti bahwa kerusakan lingkungan bukan lagi isu pinggiran, melainkan ancaman nyata yang mengintai setiap wilayah.
Curah hujan ekstrem yang memicu meluapnya sungai dan runtuhnya lereng bukit telah menenggelamkan ratusan desa, memutus infrastruktur vital, serta meninggalkan ribuan warga kehilangan rumah, harta benda, hingga anggota keluarga tercinta. Luka itu belum kering, namun peringatan agar daerah lain segera berbenah semakin menggema.
Ketua AMAN Kotawaringin Timur (Kotim), Hardi P Hady, mengingatkan bahwa musibah besar di Sumatra harus menjadi cermin keras bagi pemerintah daerah. “Apa yang terjadi di Sumatera menunjukkan betapa rentannya daerah jika kerusakan lingkungan tidak dikendalikan,” tegasnya, Jumat (05/11/2025).
Hardi menyebut, Kalimantan Tengah berpotensi menghadapi bencana serupa jika pembukaan hutan terus berlangsung tanpa kontrol ketat. Ia menyoroti aktivitas pembukaan lahan berskala besar yang diduga masih terjadi di Kecamatan Antang Kalang.
Menurut Hardi, laporan warga Desa Tumbang Kalang yang diterimanya pada Rabu (03/12/2025) memperlihatkan bukti visual penggunaan alat berat untuk menebang pohon di kawasan tersebut.
Ia menyebut aktivitas itu diduga dilakukan oleh perusahaan besar swasta kelapa sawit, dan dinilai bertentangan dengan komitmen nasional maupun global terkait penurunan angka deforestasi. Baginya, pembukaan lahan yang tidak terkendali hanya akan mempercepat keruntuhan ekosistem hutan.
Tak hanya soal lingkungan, Hardi juga menyorot tajam persoalan plasma yang tak kunjung diberikan oleh PT BUM kepada masyarakat adat. “Sejak 1998 mereka mengelola sekitar 29.000 hektare melalui tiga HGU. Namun sejengkal pun tidak ada plasma untuk masyarakat. Ini sangat ironis. Masyarakat adat hanya jadi penonton di tanah sendiri,” sesalnya.
Ia membandingkan kondisi masyarakat adat dengan warga transmigrasi di sekitar wilayah tersebut yang sudah menerima plasma dari perusahaan lain dan hidup lebih sejahtera. Menurutnya, kesenjangan tersebut berpotensi menimbulkan konflik sosial serius jika dibiarkan.
Hardi menyebut bahwa perusahaan kini memperluas areal garapan melalui anak usahanya, PT BSL (Bintang Sakti Lenggana) di bawah NT Corp, meski perusahaan itu pernah dicabut izinnya oleh Kementerian Kehutanan pada 2022.
“Yang sangat kami khawatirkan adalah pengambilan lahan TORA yang seharusnya menjadi hak masyarakat,” ucapnya.
Ia menegaskan perjuangan masyarakat adat akan berlanjut jika pemerintah daerah tetap pasif. “Kalau Pemda Kotim tidak berani menekan PT BUM untuk merealisasikan plasma sesuai ketentuan, kami akan melakukan aksi lagi,” katanya.
“Bisa di kantor Pemda, rumah jabatan bupati, atau langsung di kebun dan pabrik. Kami siap menghentikan aktivitas perusahaan. Tunggu tanggal mainnya,” imbuhnya.
Saat ditanya mengenai kemungkinan pembukaan lahan di wilayah lain, Hardi memastikan AMAN Kotim hanya memiliki bukti kuat terkait Antang Kalang. Namun, ia menambahkan bahwa aktivitas penebangan diduga masih berlangsung di kawasan konsesi HPH eks PT Kayu Mas Timber di Kecamatan Telaga Antang, Antang Kalang, dan Bukit Santuai.
AMAN Kotim menegaskan bahwa bencana di Sumatra adalah pelajaran paling mahal yang tak boleh diabaikan. “Jangan tunggu bencana baru bergerak,” tekan Hardi.
Ia berharap pemerintah daerah memperketat pengawasan, menghentikan deforestasi, dan memastikan hak masyarakat adat dipenuhi sebelum tragedi serupa menghantui Kotawaringin Timur. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan