Hamil Tapi Tetap Menyemprot Pestisida, Kisah Gelap Buruh Sawit

PALANGKA RAYA – Di tengah megahnya ekspansi perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, ada kisah pilu yang terus berulang: buruh perempuan masih menjadi kelompok paling rentan terhadap kekerasan fisik, verbal, hingga pelecehan. Suara mereka kembali mengemuka dalam gelar wicara bertema “Kita Punya Andil Wujudkan Ruang Aman” dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, yang digelar di Kafe After Work, Palangka Raya, Rabu (10/12/2025).

Dalam forum itu, realitas yang selama ini tersembunyi di balik kebun-kebun sawit terbentang gamblang. Sukristiana dari Serikat Pekerja Sawit Indonesia (Sepasi) Kalteng mengungkapkan bahwa sampai hari ini, ruang aman bagi buruh perempuan masih jauh dari harapan. Ia menyoroti fakta bahwa sejumlah perusahaan bahkan tidak menyediakan alat pelindung diri (APD) layak bagi buruh yang menangani zat kimia berbahaya. “Bagi buruh perempuan, rasa aman itu didapat ketika mereka mendapat fasilitas layak, misalnya diberkan APD yang layak dan nyaman,” tegasnya.

Ironisnya, banyak buruh perempuan terpaksa mencuci tubuh dengan air parit usai bekerja dengan pestisida. “Padahal zat kimia yang beracun itu juga mengalir ke parit itu,” ujarnya. Ancaman semacam ini, menurutnya, hanya satu dari rangkaian panjang kekerasan yang mereka hadapi.

Tak berhenti di situ. Sukristiana menyampaikan bahwa perusahaan kerap mengintimidasi buruh yang hendak bersuara atau bergabung dalam serikat. “Kebebasan berserikat itu hanya kata-kata formalitas saja, kenyataannya tidak bebas juga,” katanya.

Munika, juga dari Sepasi Kalteng, memaparkan kisah yang lebih memilukan: seorang buruh perempuan hamil tetap dipaksa memupuk dan menyemprot pestisida tanpa perlindungan memadai. “Dia tidak mau mengakui dirinya hamil… dia tetap menyemprot sampai dia melahirkan sendiri di rumahnya, hanya dibantu suaminya,” ungkapnya. Masalah utama, kata Munika, terletak pada status kerja buruh yang hanya dikontrak tiga bulanan tanpa jaminan kesehatan ataupun kepastian masa depan.

Kondisi serupa banyak ditemukan di berbagai daerah, termasuk Kotawaringin Timur, di mana rendahnya upah dan tidak adanya kontrak jangka panjang menambah tekanan pada buruh perempuan.

Sementara itu, Tri Oktafiani dari Walhi Kalteng melihat isu ini lebih luas dari sekadar relasi kerja. Ia menyebut perusahaan telah melakukan kekerasan sejak awal melalui perampasan ruang hidup. “Dari awal sudah melakukan kekerasan terhadap perempuan, disebutnya kekerasan ekonomi,” tegasnya.

Kehadiran perusahaan yang merebut sumber pangan masyarakat membuat perempuan harus memikul beban lebih berat dalam budaya patriarki. Ketika sumber pangan hilang, mereka terpaksa mencari cara lain untuk bertahan termasuk bekerja di perkebunan sawit yang justru menambah potensi kekerasan baru.

Ani menyampaikan, bahkan hak cuti menstruasi pun sulit diperoleh. “Mereka harus membuktikan bahwa benar-benar menstruasi. Itu pelecehan,” ujarnya.

Ia menegaskan, kekerasan terhadap perempuan bukan kasus insidental. “Korporasi mestinya mewujudkan ruang aman bagi siapapun perempuan yang ada di situ, baik jabatan rendah sampai paling tinggi,” tandasnya. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com