BALANGAN — Perbincangan publik di wilayah Banua Anam menghangat setelah munculnya sebuah grup Facebook yang dinilai memuat konten sensitif dan memantik pro-kontra di masyarakat, Selasa (16/12/2025). Grup tersebut menjadi sorotan lantaran dinilai menunjukkan lemahnya pengawasan ruang digital, khususnya di media sosial yang dapat diakses secara luas oleh berbagai kalangan usia.
Grup Facebook dengan nama gay balangan paringin barabai amuntai itu mendadak viral setelah dibahas di berbagai lini media sosial. Berdasarkan pantauan, grup tersebut tercatat memiliki sekitar 3,3 ribu akun anggota dan bersifat terbuka, sehingga aktivitas di dalamnya dapat diakses publik tanpa penyaringan usia maupun verifikasi khusus.
Jejak digital menunjukkan grup tersebut dibuat pada 26 November 2016 atau telah aktif selama kurang lebih sembilan tahun. Selama itu pula, aktivitas unggahan terus berlangsung dan melibatkan anggota dari berbagai daerah, tidak hanya terbatas di wilayah Banua Anam seperti Balangan, Paringin, Barabai, dan Amuntai, tetapi juga dari sejumlah kabupaten dan kota lain di Provinsi Kalimantan Selatan.
Sejumlah unggahan di dalam grup memperlihatkan penggunaan media sosial sebagai sarana pertemanan hingga pencarian pasangan sesama jenis. Pola ini menimbulkan kekhawatiran sebagian masyarakat, terutama terkait potensi penyalahgunaan ruang digital yang minim pengawasan, serta risiko paparan konten sensitif kepada pengguna di bawah umur.
Fenomena ini juga membuka diskursus lebih luas mengenai tanggung jawab platform media sosial dalam memoderasi konten dan komunitas daring. Grup dengan status terbuka memungkinkan siapa saja bergabung tanpa batasan, sehingga rawan disalahgunakan untuk aktivitas yang melampaui norma sosial setempat atau bahkan berpotensi melanggar aturan platform itu sendiri.
Pengamat media digital menilai, viralnya grup tersebut bukan semata soal isi komunitas, melainkan cerminan tantangan besar pengelolaan ruang publik digital di daerah. Minimnya literasi digital, ditambah lemahnya pengawasan, dapat memicu kegaduhan sosial dan kesalahpahaman di tengah masyarakat yang heterogen.
Di sisi lain, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum diharapkan tidak gegabah dalam merespons fenomena viral semacam ini. Pendekatan yang proporsional, berbasis hukum, serta mengedepankan edukasi publik dinilai lebih efektif ketimbang reaksi emosional yang berpotensi memperkeruh suasana.
Kasus ini menjadi alarm bahwa media sosial bukan sekadar ruang hiburan, melainkan arena interaksi sosial yang membutuhkan regulasi, pengawasan, dan kedewasaan bersama. Tanpa itu, ruang digital berisiko menjadi sumber konflik baru di tengah masyarakat Banua Anam dan Kalimantan Selatan secara umum. []
Admin04
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan