Migrasi Gelap Sambas–Malaysia Kian Mengkhawatirkan

SAMBAS — Risiko besar terus membayangi buruh migran lintas negara asal Kalimantan Barat yang bekerja ke Malaysia. Kedekatan geografis wilayah perbatasan, khususnya daerah-daerah di Kabupaten Sambas dan sekitarnya, dinilai menjadi pintu rawan praktik migrasi nonprosedural yang sarat eksploitasi.

Sorotan itu disampaikan Yayasan Integritas Justisia Madani Indonesia (IJMI) dalam Workshop Hari Migran Internasional yang digelar pada Kamis (18/12/2025). IJMI menilai arus keluar tenaga kerja dari Kalimantan Barat ke Malaysia masih sulit dikendalikan karena dominasi jalur informal.

Lead Advokasi dan External Engagement IJMI, Yunety Tarigan, mengungkapkan bahwa kedekatan wilayah Kalimantan Barat dengan Malaysia, seperti Kuching dan daerah perbatasan lainnya, membuat mobilitas buruh migran berlangsung cepat tanpa pengawasan memadai.

“Sebagian besar direkrut melalui ajakan teman atau keluarga yang sudah bekerja di Malaysia, tanpa kepastian perlindungan sebagai pekerja migran,” kata Yunety.

Menurut IJMI, pola perekrutan berbasis relasi personal tersebut membuat banyak pekerja berangkat tanpa kontrak kerja yang jelas, tanpa pemahaman hak-hak ketenagakerjaan, serta minim informasi mengenai risiko perdagangan orang. Kondisi ini menjadikan buruh migran nonprosedural sangat rentan terhadap kerja paksa dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

IJMI menegaskan, negara tidak boleh membatasi perlindungan hanya kepada pekerja migran yang berangkat secara prosedural. Pasalnya, jumlah buruh migran nonprosedural dari wilayah perbatasan Kalimantan Barat masih tergolong tinggi dan kerap luput dari sistem perlindungan.

Selain tekanan ekonomi, Yunety juga menyoroti faktor struktural lain yang mendorong migrasi lintas negara, seperti perubahan iklim, deforestasi, menyempitnya lahan garapan, serta belum optimalnya penciptaan lapangan kerja di daerah.

IJMI merekomendasikan penguatan peran Satuan Tugas TPPO agar lebih responsif dan menyeluruh, mulai dari upaya pencegahan, sosialisasi pra-keberangkatan, penyelamatan korban, pendampingan psikososial, hingga pemulihan dan kompensasi setelah korban kembali ke tanah air.

“Kami harapkan agar peran para aktor-aktor utama maupun mungkin dari tokoh agama ataupun juga tokoh adat bisa mensosialisasikan atau meningkatkan pemahaman terkait dengan perdagangan orang,” tutur Yunety. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com