POLITIK selalu terkait dengan pencitraan. Seseorang yang memiliki citra positif, bakal mampu melenggang di dunia politik hingga level atas. Sebaliknya, karier politikus otomatis tamat jika ia memiliki citra negatif, apa pun kasusnya.
Pencitraan tersebut menjadi jaminan utama setelah modal uang dan dukungan, sebagai syarat seseorang untuk terjun di dunia politik. Setidaknya begitulah yang berlaku di negeri kita tercinta, Indonesia. Para politikus pun mafhum dengan kondisi ini.
Tak jarang untuk memoles citra seorang politisi, penggalangan opini menjadi cara praktis untuk mendorong simpati publik kepada sang aktor politik. Terlebih dengan kian berkembangnya teknologi. Keberadaan media sosial bagaikan sebuah jembatan tak kasat mata yang menghubungkan para penggunanya satu sama lain.
Media sosial kian mendapat tempat, terlebih di era serba digital seperti saat ini. Informasi, termasuk isu-isu politik mudah didapatkan melalui media sosial yang dengan cepat menyebar secara luas di masyarakat tanpa terkontrol. Media sosial bahkan memiliki pengaruh kuat dalam membentuk preferensi maupun perspektif politik masa kini di kalangan penggunanya.
Hal inilah yang belakangan melahirkan buzzer. Buzzer merupakan istilah baru sejak media sosial marak digunakan. Buzzer dikenal sebagai salah satu aktor paling penting dalam penggalangan opini di dunia maya yang menjalankan fungsi pemasaran untuk menjual sebuah produk.
Dalam kontestasi pemilu, buzzer memiliki peran penting dalam membuat opini dan framing secara positif maupun negatif terhadap suatu kelompok ataupun individu. Media sosial semacam Twitter menjadi basis buzzer dalam mendengungkan opini untuk menyudutkan atau menonjolkan suatu kandidat.
Hanya saja, pemakaian istilah buzzer di media sosial cenderung diidentikkan dengan penggunaan strategi kampanye negatif sehingga membuat istilah tersebut terkesan negatif.
Berdasarkan penelitian CIPG, buzzer mulai lahir bersamaan dengan kelahiran Twitter pada 2009. Awalnya, buzzer berkembang menjadi sebuah strategi pemasaran untuk mempromosikan produk guna mendongkrak penjualan.
Fungsi buzzer kemudian berubah pada 2012 ketika pasangan Jokowi-Ahok yang maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Provinsi DKI Jakarta menggunakan pasukan media sosial untuk mendorong segala wacana atau isu politik. Saat itu pasangan Jokowi Ahok berhasil menang dengan mengerahkan “pasukan medsos” bernama Jasmev, atau Jokowi Ahok Social Media Volunteer.
Sejak saat itu, buzzer menjadi senjata ampuh penggalangan opini guna memoles citra seorang politisi, baik positif maupun negatif. Penggunaan buzzer terus berlanjut pada saat Pemilu 2014 dan menjadi semakin masif lima tahun kemudian pada saat Pemilu 2019. Hingga muncul tudingan buzzer bayaran yang terkenal dengan adagium “maju tak gentar, membela yang bayar”. Dalam artian, buzzer akan mendengungkan citra positif kepada pemberi bayaran, dan mendengungkan citra negatif kepada lawan si pemberi bayaran.
Namun kehadiran buzzer dalam ajang Pilkada dan Pemilu selalu dipandang negatif karena berperan sebagai marketing yang memperkenalkan branding pasangan calon namun juga menjadi aktor dalam proses penyebaran black campaign calon pasangan lainnya.
Sehingga fenomena hoaks, ujaran kebencian, fitnah dan kampanye negatif lainnya tumbuh subur akibat penyebaran pesan-pesan yang dilakukan para buzzer. Kondisi ini semakin diperparah karena belum adanya aturan yang khusus mengatur tentang cara kerja buzzer politik jika melanggar aturan karena kegiatan kampanye negatif tadi.
Sebenarnya ada beberapa ketentuan dalam undang-undang yang dapat diancamkan terhadap para buzzer yang menyebarkan disinformasi. Di antaranya adalah Pasal 280 UU Pemilu tentang larangan-larangan dalam berkampanye, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan.
Namun, penerapan ketentuan-ketentuan tersebut terhadap para buzzer terbilang cukup sulit karena mereka umumnya menggunakan menggunakan identitas anonim dalam menjalankan aksinya sehingga sulit untuk dilacak.
Lalu, jika aturan hukum yang berlaku tidak mampu untuk mengatasi permasalahan ini, mungkinkah buzzer dihapus dari media sosial selama masa kampanye? Tidak ada jawaban pasti karena akan ada pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul untuk menjawab pertanyaan tersebut
Upaya paling penting dalam menghadapi isu ini adalah peningkatan kemampuan literasi digital masyarakat. Kemampuan literasi digital ini meliputi, kemampuan dalam menerima, mengolah, memverifikasi, dan menentukan kebenaran suatu informasi.
Ketika menerima suatu informasi, masyarakat hendaknya tidak terburu-buru untuk menelan informasi tersebut secara mentah-mentah, apalagi langsung menyebarkannya kepada pihak lain. Masyarakat perlu untuk memverifikasi informasi tersebut dan mengecek kebenarannya. (*)