SAMARINDA – ADA yang sedikit berbeda dalam gelaran Diskusi Publik dan Peluncuran Buku “Nyapu” di Aula Gedung B Lantai 4 Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Senin (21/8/2023).
Tempat acara kegiatan tersebut dipenuhi oleh mahasiswa Fakultas Hukum Unmul. Mereka dengan tertib dan khidmat menyimak setiap materi yang disampaikan oleh pembicara dalam diskusi tersebut. Bahkan beberapa mahasiswa aktif berbicara dengan lantang, saat sesi tanya jawab dimulai.
Kehadiran para mahasiswa ini membuat narasumber diskusi yang merupakan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat antusias dan bersemangat. Pasalnya seperti diungkapkan Samsiyah, aktivis perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, kehadiran para mahasiswa dalam diskusi kali ini menjadi kesempatan dirinya menyuarakan nasib masyarakat adat yang selama ini tinggal di sekitar wilayah proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
“Saya senang sekali, karena isi hati keluar semua plong dengan yang mendengar anak-anak mahasiswa. Mereka pasti merasakan apa yang saya kisahkan, kejadian fakta di lapangan. Semoga suara dari Suku Balik ini didengar dan diperhatikan,” harap Syamsiah.
Memang Buku Nyapu sendiri merupakan kumpulan tulisan berdasarkan hasil penelitian Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim) dalam merespon pembangunan megaproyek IKN, di Kecamatan Sapaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Provinsi Kaltim.
Sebab, dibalik pembangunan yang digadang-gadang menjadi monumen bagi Presiden RI Joko Widodo itu, ada sepenggal kisah terabaikannya keberadaan Suku Balik, yang menjadi masyarakat adat di wilayah Kecamatan Sepaku, PPU.
“Kondisi di lapangan sangat memburuk, masyarakat adat tidak mengerti adanya IKN, tahunya tiba-tiba adanya penggusuran. Demikian juga dengan adanya pembangunan intake sepaku,” sambung Syamsiah saat ditemui beritaborneo.com, usai peluncuran Buku Nyapu.
Di tempat sama, Ketua AMAN Kaltim Saiduani Nyuk juga menyampaikan padangannya mengenai pembangunan IKN yang menghilangkan ruang hidup masyarakat adat di Sepaku.
“Bicara pembangunan pasti ada penggusuran. Bagi orang yang tidak terhubung di lapangan, pasti melihat IKN adalah surga yang nyata dengan dampak ekonomi tinggi. Tapi bagi warga adat yang tinggal di sekitar megaproyek itu, kenyataannya berbeda. Ada perampasan dan penggusuran dan hak-hak masyarakat yang diambil sert ancaman kriminalisasi,” terang pria yang kerap disapa Duan ini.
Duan memberikan contoh, Suku Balik yang sebagian wilayahnya terkena dampak pembangunan Intake Sepaku. Intake sendiri adalah suatu konstruksi yang berguna untuk mengambil air dari sumber air di permukaan tanah, seperti reservoir, sungai, danau atau kanal.
“Awalnya pembangunan ini dianggap proyek nasional. Padahal kenyataannya, seluruh sandaran hidup komunitas Suku Balik, yakni kebutuhan air bersih sehari-hari, yang dihancurkan,” katannya.
Tak hanya itu sambung Duan, akibat pembangunan intake Sepaku tersebut, masyarakat adat Suku Balik tidak dapat lagi mengakses situs-situs mereka sendiri. Seperti makam para leluhur dan batu-batu peninggalan yang memiliki sejarah.
“Kita melihat di dalam pembangunan IKN ini ada fakta yang terabaikan, yakni keberadaan dan keberlangsungan hidup masyarakat adat Suku Balik,” tutup Duan. []
Penulis: Hernanda | Penyunting : Agus P Sarjono