SAMARINDA – SEJARAH tentang perlawanan rakyat Samarinda melawan upaya Belanda untuk melakukan penjajahan kembali pasca diproklamasikanya Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sangat jarang terdengar.
Selama ini yang sering terdengar adalah sejarah tentang Kerajaan Martapura atau lebih dikenal sebagai Kerajaan Kutai Kertanegara dengan Mulawarman sebagai Raja. Atau sejarah tentang pecahnya Peristiwa Merah Putih di Sanga Sanga yang terjadi pada tanggal 27 Januari 1947.
Buku berjudul “Perang di Samarinda, Sejarah Perjuangan Indonesia Merdeka di Ibu Kota Kalimantan Timur 1945-1949” tampaknya dapat membuka mata masyarakat, bahwa warga Kota Tepian pun tak kalah heroik dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Penulis Buku “Perang di Samarinda, Sejarah Perjuangan Indonesia Merdeka di Ibu Kota Kalimantan Timur 1945-1949” Muhammad Sarip mengatakan, Perang di Samarinda dalam buku tersebut bermakna universal dan bisa diterjemahkan sebagai “perlawanan”. Karena yang dikisahkan buku Perang di Samarinda bukan hanya perang secara fisik dengan menggunakan senjata saja.
“Tetapi juga perlawanan dengan secara politis melalui organisasi politik yang dibentuk pada saat itu, dan juga perjuangan menggunakan media massa sebagai sarananya,” katanya saat Diskusi Buku “Perang di Samarinda, Sejarah Perjuangan Indonesia Merdeka di Ibu Kota Kalimantan Timur 1945-1949” yang digelar oleh Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kota Samarinda di Aula Perpustakaan Kota Samarinda, Jalan Kusuma Bangsa, Samarinda, Rabu (4/10/2023).
“Pada saat rakyat Samarinda berjuang melakukan perlawanan terhadap Belanda yang menjadi markasnya salah satunya adalah Gedung Nasional yang ada di Jalan Panglima Batur, yang pada saat itu bangunannya masih kayu,” kisah Muhammad Sarip.
Menurut dia, perjuangan rakyat pada waktu itu selain perjuangan fisik dengan mengangkat senjata, tidak kurang juga pengaruhnya adalah perjuangan melalui jalur diplomasi dan media massa dengan tokohnya Oemar Dachlan dan Anang Badroen Arieph melalui koran “Masjarakat Baroe”.
Muhammad Sarip mengatakan, buku yang ditulis itu selain untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk perlawanan rakyat Samarinda menentang penjajahan adalah juga untuk menumbuhkan rasa mencintai, rasa memiliki dan rasa kebanggan warga Samarinda akan kotanya melalui sarana literasi untuk mewujudkan Kota Samarinda sebagai pusat peradaban sebagaimana visi pemimpin daerahnya. []
Penulis : Himawan Yokominarno | Penyunting : Agus P Sarjono