JAKARTA – Pemerintah Korea Utara dianggap telah melakukan pelanggaran hukum internasional, karena mengirimkan lebih dari 500 orang pekerja secara ilegal ke China pada akhir Agustus lalu.
Menurut laporan Panel Ahli Sanksi Korut Perserikatan Bangsa Bangsa yang diterbitkan awal tahun ini, sekitar 100 ribu pekerja Korut masih mendapatkan mata uang asing dari sekitar 40 negara, termasuk China dan Rusia.
“Sebuah perusahaan pakaian di kawasan industri garmen mempekerjakan 150 pekerja yang dikirim,” kata seorang warga negara China keturunan Korut kepada Radio Free Asia.
“Perusahaan tersebut dikelola warga Tionghoa setempat. Korut juga mulai mengirim pekerja dalam skala besar mulai sekarang,” ujar warga tersebut.
Dia menyebut banyak pekerja Korut yang sudah berada di China sejak sebelum pandemi, yang tinggal dan bekerja di perusahaan yang telah menjadi mitra mereka.
“Saat ini pekerja Korut dikirim ke sejumlah perusahaan di Provinsi Jilin, tetapi tampaknya mereka dikirim secara bertahap ke seluruh Tiongkok,” kata penduduk tersebut.
“Ada permintaan besar di Tiongkok untuk pekerja muda yang dapat tinggal dan bekerja di dalam pabrik serta meningkatkan produktivitas tanpa batas,” kata dia.
Seorang penduduk kota Dandong di China mengatakan bahwa 500 pekerja tersebut akan bekerja di tiga perusahaan berbeda di Hunchun.
Sebelum pandemi Covid-19, pemerintah Kim Jong Un memang secara rutin mengirim pekerja ke luar negeri seperti ke Rusia dan China, untuk mendapatkan devisa negara.
Namun pengiriman pekerja Korut ke luar negeri seharusnya berakhir pada akhir 2019, ketika Resolusi Dewan Keamanan PBB 2397 yang ditujukan untuk menekan Korut untuk mengakhiri program nuklirnya mulai berlaku.
Pada resolusi DK PBB itu disebutkan bahwa semua pekerja Korut harus kembali ke rumah dan tidak ada visa kerja baru untuk warga Korut yang dikeluarkan.
Selama pandemi dan Korut menutup semua perbatasannya, banyak pekerjanya yang akhirnya terdampar di luar negeri. []
Redaksi08