MOSKOW – Presiden Rusia, Vladimir Putin, menginstruksikan dimulainya gencatan senjata selama tiga hari dengan Ukraina mulai Rabu (08/05/2025). Keputusan ini bertepatan dengan peringatan Hari Kemenangan atas Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Namun, langkah sepihak yang diumumkan Kremlin itu langsung ditolak oleh pihak Ukraina. Pemerintah Kyiv menyebut gencatan tersebut tidak lebih dari “sandiwara politik” yang tidak mencerminkan itikad baik dari pihak Rusia.
Pihak Kremlin menyatakan bahwa gencatan senjata ini bertujuan menguji keseriusan Ukraina dalam menempuh jalur perdamaian. Akan tetapi, Ukraina tetap bersikap skeptis, mengingat berbagai pelanggaran yang terjadi dalam gencatan senjata sebelumnya.
Putin menyebut inisiatif tersebut sebagai “gestur kemanusiaan”, terlebih setelah adanya tekanan dari Amerika Serikat untuk mengakhiri konflik yang kini memasuki tahun ketiga. Di sisi lain, Ukraina justru mengusulkan gencatan senjata selama 30 hari guna memberikan ruang bagi proses diplomasi.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam pidato malamnya menegaskan, “Kami tidak mencabut usulan ini, karena hal itu bisa memberikan peluang bagi diplomasi. Namun dunia belum melihat adanya respons nyata dari Rusia.”
Meskipun gencatan resmi telah dimulai, situasi di medan perang menunjukkan kondisi sebaliknya. Beberapa jam sebelum jeda tembak diberlakukan, kedua belah pihak masih saling melancarkan serangan udara. Ukraina melaporkan sedikitnya dua korban jiwa, termasuk seorang ibu dan anak, akibat serangan Rusia. Sebaliknya, Ukraina juga mengirimkan drone dalam jumlah besar ke wilayah Rusia, mengganggu operasional sejumlah bandara di Moskow dan Saint Petersburg.
Di tengah memanasnya konflik, sekitar 60.000 penumpang terdampak dan lebih dari 350 penerbangan terganggu selama dua hari terakhir, menurut Asosiasi Operator Tur Rusia. Video yang beredar di media sosial menunjukkan penumpang tidur di lantai bandara serta antrean panjang pesawat di landasan pacu.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menjabat sejak Januari lalu, telah menyuarakan keinginannya untuk mengakhiri konflik ini. Namun upaya diplomatiknya belum membuahkan hasil. Proposal gencatan senjata tanpa syarat dari AS dan Ukraina pada Maret lalu ditolak oleh Putin.
Wakil Presiden AS JD Vance mengatakan, “Kami rasa tidak mungkin bagi AS untuk menjadi mediator utama tanpa keterlibatan langsung kedua belah pihak.”
Sementara itu, Rusia bersiap menggelar parade Hari Kemenangan pada 9 Mei, yang akan dihadiri lebih dari 20 pemimpin dunia, termasuk Presiden China Xi Jinping, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, dan Presiden Serbia Aleksandar Vučić. Kremlin memperketat pengamanan di Moskow, termasuk membatasi sinyal internet dengan alasan keamanan.
“Kita harus memahami bahwa kita memiliki lingkungan yang berbahaya,” ujar juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov. Ia menambahkan bahwa pembatasan di Moskow akan berlangsung hingga 10 Mei dan mengimbau masyarakat untuk tetap tenang.
Meski situasi di ibu kota terlihat kondusif, ketegangan tetap tinggi di garis depan. Rusia masih menguasai sekitar 20 persen wilayah Ukraina dan terus melancarkan serangan drone serta rudal balistik yang menyebabkan jatuhnya korban sipil.
Ukraina menyatakan tidak percaya bahwa Rusia akan benar-benar mematuhi gencatan senjata. Mereka mengacu pada insiden sebelumnya saat Kremlin mengumumkan gencatan selama 30 jam saat Paskah, yang justru disertai ratusan pelanggaran.
“Apa yang disebut gencatan senjata ini hanyalah sandiwara untuk pencitraan di mata dunia,” kata seorang pejabat Ukraina yang tidak disebutkan namanya.
Konflik yang terus berlangsung ini menciptakan ironi di tengah perayaan sejarah: di satu sisi parade kemenangan digelar secara megah, namun di sisi lain perang yang memakan banyak korban belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.[]
Redaksi12
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan