SEOUL – Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) menjadi ancaman serius dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Korea Selatan yang akan datang. Jelang Pilpres, sebuah video deepfake yang menampilkan calon presiden (capres) Partai Demokrat Lee Jae Myung sedang memaki istrinya, Kim Hye-kyung, telah beredar luas di media sosial. Video palsu ini pertama kali muncul pada pertengahan April 2025 dan menjadi perhatian besar tim kampanye Partai Demokrat.
Menurut Nikkei Asia pada Jumat (30/5), tim kampanye Partai Demokrat menyatakan, “Ancaman terhadap demokrasi yang merusak kemampuan pemilih untuk membuat pilihan yang tepat.” Fenomena konten palsu semakin meningkat di Korea Selatan menjelang Pilpres, dengan video deepfake yang menyebar lebih cepat daripada kemampuan pengawasan pemerintah.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Korea Selatan mencatat telah mengajukan permohonan penghapusan terhadap 7.784 konten palsu antara 4 Mei hingga 26 Mei, jumlah ini sepuluh kali lipat dibandingkan pemilu 2024. Meski sudah ada larangan penggunaan deepfake yang diatur dalam revisi Undang-Undang Pemilu pada Januari 2024, konten palsu berbasis AI masih merajalela.
Untuk menghadapi ancaman tersebut, KPU Korea Selatan mengambil berbagai langkah strategis. Mereka menggelar forum khusus bulan lalu untuk membahas penanganan konten palsu dan membentuk tim khusus yang bertugas mendeteksi video deepfake dan konten manipulatif lainnya. Tim ini menggunakan sistem deteksi canggih yang dikembangkan pemerintah dan, jika perlu, menyerahkan konten mencurigakan kepada para ahli untuk analisis lebih mendalam.
Menurut KPU, video palsu mudah diproduksi hanya dengan rekaman suara dan gambar yang ada. Beberapa konten palsu yang beredar bahkan memperlihatkan capres dalam pakaian tahanan atau menyampaikan pernyataan dukungan terhadap darurat militer. Keberadaan konten seperti ini membuat pengawasan menjadi semakin rumit karena penyebarannya sangat cepat dan luas.
Selain KPU, kepolisian Korea Selatan juga turun tangan untuk menangani konten palsu berbasis AI tersebut. Namun, mereka masih mengalami kesulitan mengendalikan penyebaran konten karena laju produksi video deepfake dan konten manipulatif lainnya jauh lebih cepat dibandingkan upaya pengawasan yang dilakukan.
Kasus serupa juga terjadi di negara lain. Di Jepang, pada Oktober 2024, sebuah video palsu yang menampilkan mantan Perdana Menteri Fumio Kishida meminta pendukungnya menolak pembuat undang-undang sempat viral. Sementara itu, di Sri Lanka, video palsu yang menampilkan dukungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap seorang capres juga tersebar luas. []
Redaksi11