Aksi “Menolak Lupa”, Mahasiswa Kutim Kritik Lambannya Penegakan HAM

KUTAI TIMUR – Suasana di Simpang Empat Patung Singa, Sangatta Utara, pada Jumat (12/09/2025) terasa berbeda dari biasanya. Puluhan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (Stiper) Kutai Timur (Kutim) menggelar aksi mimbar bebas dengan tema “Menolak Lupa”. Mereka menyuarakan pentingnya mengingat kembali tragedi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang hingga kini belum menemukan titik penyelesaian.

Aksi tersebut menjadi refleksi kolektif sekaligus pengingat bahwa sejarah kelam bangsa tidak boleh diabaikan. Para mahasiswa menilai, negara masih belum menunjukkan keseriusan dalam menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM. Mereka menegaskan, tanpa keberanian menegakkan keadilan, luka para korban dan keluarganya akan terus terbuka.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Stiper Kutim, Gideon Sampeluna, menekankan bahwa September selalu membawa ingatan pada peristiwa-peristiwa yang meninggalkan duka mendalam.

“September hitam memperingati tragedi tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok 1984, hingga peristiwa Semanggi II, Kalang Sari, Trisakti hingga pembunuhan Munir dan beberapa kasus-kasus yang lainnya menghilang pada saat itu,” ujarnya.

Menurut Gideon, pola pelanggaran HAM yang berulang seolah menunjukkan lemahnya sistem hukum. Ia menilai negara seperti membiarkan kasus-kasus besar tersebut tanpa kejelasan, sehingga keadilan bagi korban menjadi jauh dari harapan.

Tidak hanya mengangkat isu HAM, Gideon juga menyinggung urgensi perlindungan hutan adat. Baginya, keberadaan masyarakat adat sangat erat kaitannya dengan kelestarian lingkungan. Namun, hingga kini belum ada payung hukum kuat yang melindungi hak-hak mereka.

“Undang-undang hutan adat harus segera dibahas dan disahkan, karena urgensinya besar sekali. Banyak sekali wilayah-wilayah hutan adat yang sudah terdeforestasi, alhasil masyarakat adat tersingkirkan. Saat ini tidak ada aturan yang jelas, hanya sebatas regulasi pengakuan tanpa undang-undang yang mengatur mutlak,” jelas Gideon.

Ia mengingatkan bahwa di Kutai Timur sendiri terdapat titik-titik hutan adat yang rawan hilang akibat eksploitasi. Menurutnya, jika kondisi ini tidak segera ditangani, maka masyarakat adat akan terus menjadi korban.

“Ada beberapa titik hutan adat di Kutim ini dan itu penting sekali untuk dijaga. Kalau tidak, masyarakat adat akan terus jadi korban,” pungkasnya.

Aksi mimbar bebas ini sekaligus menunjukkan bahwa mahasiswa masih konsisten mengambil peran sebagai kontrol sosial. Seruan mereka tidak hanya sebatas mengingat tragedi HAM, tetapi juga memperluas wacana pada isu lingkungan hidup yang menyangkut kepentingan masyarakat adat. Melalui mimbar bebas tersebut, mahasiswa Stiper Kutim menegaskan sikap: jangan biarkan sejarah kelam berulang, dan jangan biarkan ruang hidup masyarakat adat tersingkirkan. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com