KUTAI KARTANEGARA – Konflik agraria antara masyarakat adat Jahab dengan PT Budi Duta Agro Makmur (BDA) di Kutai Kartanegara terus memanas. Hingga kini, portal akses keluar-masuk perusahaan masih ditutup rapat oleh warga, menandai ketegangan yang belum menemukan titik temu.
Ketua Aksi Masyarakat Adat Jahab, Thomas Fasenga, menegaskan bahwa aksi tersebut bukan tindakan anarkis, melainkan bentuk perlawanan warga yang merasa menjadi korban ketidakadilan selama puluhan tahun.
Menurut Thomas, permasalahan lahan ini berakar sejak 1978 ketika kawasan tersebut dikelola PT Hasfarm Product sebelum dialihkan ke PT BDA. Hingga saat ini, warga mengaku belum pernah menerima ganti rugi yang layak atas tanah mereka.
“Yang ada hanya ganti rugi tanam tumbuh, itu pun hanya sekitar 200 hektare. Sampai sekarang, sisanya tidak pernah dibayar,” ucap Thomas saat ditemui di Tenggarong, Sabtu sore (20/09/2025).
Thomas menjelaskan, sebagian besar lahan yang digusur perusahaan sebelumnya dikelola masyarakat untuk sawit, karet, dan tanaman buah. Penggusuran sepihak itu membuat warga kehilangan sumber penghidupan utama.
“Kalau dihitung-hitung, kerugian masyarakat bisa mencapai Rp50 miliar lebih, bahkan ratusan miliar kalau ditotal dengan desa lain. Padahal, kami hanya hidup dari hasil lahan itu,” tegas Thomas.
Ia juga menyoroti kebijakan perusahaan yang hanya menawarkan “tali asih” sekitar Rp5–6 juta per hektare tanpa memberikan kompensasi tanam tumbuh yang semestinya.
“Itu sangat merugikan warga. Tanaman yang sudah kami rawat bertahun-tahun digusur begitu saja tanpa kompensasi yang layak,” tambah Thomas.
Meski menghadapi tekanan dari pihak perusahaan, Thomas menegaskan bahwa warga tetap bertahan menjaga portal. Ia menekankan bahwa aksi ini merupakan jalan terakhir untuk menuntut hak-hak yang belum terpenuhi sejak lama.
“Kami bukan perusuh. Kami hanya korban yang haknya diabaikan. Jadi wajar jika kami bertahan menjaga portal ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, Thomas mengingatkan bahwa total Hak Guna Usaha (HGU) PT BDA mencapai 12 ribu hektare, dan lebih dari separuhnya merupakan lahan yang dikelola masyarakat adat. Fakta ini, menurutnya, menjadi dasar kuat bagi warga untuk memperjuangkan haknya. “Inilah yang membuat warga merasa punya dasar untuk memperjuangkan lahan. Kami hanya menuntut keadilan,” pungkas Thomas.
Konflik ini menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa agraria di Kutai Kartanegara masih memerlukan keterlibatan pemerintah sebagai mediator netral. Tanpa adanya dialog yang adil, potensi kerugian sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal bisa terus berlanjut. Ke depan, perhatian serius dari semua pihak dianggap krusial agar hak-hak masyarakat adat dihormati sekaligus aktivitas perusahaan tetap berjalan sesuai aturan. []
Penulis: Jemi Irlanda Haikal | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan