PALANGKA RAYA – Aktivis lingkungan di Kalimantan Tengah (Kalteng) memberikan kritik terhadap proyek lumbung pangan yang diluncurkan oleh pemerintah pusat di provinsi tersebut.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, menilai bahwa proyek pembukaan lahan dalam skala besar untuk cetak sawah justru dapat memperburuk kerusakan lingkungan.
Pembukaan lahan ini, menurut Bayu, akan mengorbankan kawasan hutan dan gambut yang sebenarnya harus dilestarikan.
Bayu menjelaskan bahwa proyek semacam ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, pemerintah telah meluncurkan program serupa dengan nama food estate yang melibatkan pembukaan lahan besar-besaran. Bahkan, pada masa Orde Baru, terdapat proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) yang memiliki model yang serupa.
“Pemerintah sudah mencanangkan program ini sejak lama, sebelumnya ada food estate, lalu pada zaman Orde Baru ada PLG. Intinya, modelnya sama: eksploitasi terhadap ekosistem penting seperti gambut dan tutupan hutan,” ungkap Bayu saat ditemui di Palangka Raya, Rabu (22/01/2025).
Selain itu, Bayu juga mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai belum mengedepankan pendekatan dari bawah (bottom-up). Proyek lumbung pangan ini, kata Bayu, seharusnya berangkat dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal. Namun, kenyataannya proyek ini lebih didorong oleh keinginan elit.
“Pada akhirnya, proyek ini akan mengulang kesalahan yang sama seperti food estate sebelumnya. Programnya tetap berjalan, tetapi tidak ada dasar yang kuat mengapa itu harus dijalankan, mengingat tidak ada masalah yang mendasar dari masyarakat setempat,” tambah Bayu.
Dalam perspektif Bayu, jika tujuan dari proyek ini adalah untuk mewujudkan kedaulatan pangan, maka pemerintah perlu lebih memperhatikan kondisi lokal di Kalteng. Masyarakat Kalteng memiliki berbagai adat istiadat yang membentuk pola pertanian yang beragam.
Selain mengandalkan pertanian sawah, sebagian masyarakat di daerah-daerah tertentu di Kalteng juga menerapkan sistem pertanian ladang berpindah.
“Pemerintah seharusnya mendukung sistem pertanian yang sesuai dengan kondisi masyarakat lokal ini, menghargai praktik atau pola yang mereka jalankan. Ini penting jika tujuannya untuk mencapai ketahanan pangan yang sesungguhnya,” ujarnya.
Bayu juga menambahkan bahwa perlu dipertimbangkan dengan matang apakah lahan yang akan dibuka untuk cetak sawah benar-benar sesuai dengan model pertanian tersebut. Menurutnya, keputusan mengenai lahan yang digunakan harus melibatkan konsultasi dengan masyarakat setempat terlebih dahulu.
“Ini kan model pertanian cetak sawah. Lalu, apakah lahan yang dipilih cocok untuk itu? Selama ini pemerintah hanya memutuskan lahan dan baru dikonsultasikan setelah keputusan itu diambil. Padahal, konsultasi dengan masyarakat seharusnya dilakukan sebelum menetapkan lahan,” ujar Bayu.
Penting bagi pemerintah untuk memikirkan kelayakan wilayah yang akan digunakan dalam proyek ini, baik dari sisi kondisi alam maupun kesejahteraan masyarakat setempat.
Keberlanjutan proyek dan dampak lingkungan jangka panjang juga harus menjadi pertimbangan utama, agar tidak terjadi kerusakan yang lebih besar di masa depan. []
Redaksi03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan