BANJARBARU – Aliansi Meratus kembali menegaskan sikap penolakan terhadap rencana pembentukan Taman Nasional Pegunungan Meratus. Penegasan itu disampaikan dalam forum diskusi bersama Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) yang berlangsung pada Rabu (27/8/2025) siang di Banjarbaru, dengan menghadirkan sejumlah tokoh masyarakat adat dari berbagai daerah di Kalsel.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Raden Rafiq, menekankan bahwa kehadiran mereka dalam forum bukan untuk bernegosiasi, melainkan untuk menyuarakan penolakan sekaligus menyerahkan dokumen berisi rekomendasi kebijakan. “Kami hadir bukan untuk bernegosiasi, kami juga menyampaikan paparan penting terkait tata kelola dan tata ruang yang sudah ada jauh sebelum negara merdeka,” tegas Raden.
Pada akhir diskusi, Aliansi Meratus menyerahkan dokumen kertas kebijakan yang mendesak Pemerintah Provinsi Kalsel mencabut seluruh proses pengajuan Taman Nasional Pegunungan Meratus. Mereka menilai konsep taman nasional yang bersifat top-down bertentangan dengan tata kelola masyarakat adat. Menurut mereka, aktivitas ritual, pengelolaan hutan, hingga pola kehidupan warga adat tidak dapat diseragamkan dengan batasan administratif. “Ini seperti bentuk diskriminasi negara terhadap masyarakat adat di Pegunungan Meratus. Untuk itu kami konsisten menyatakan penolakan penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus,” tambah Raden.
Staf Walhi Kalsel, Kopral, menuturkan agenda utama selanjutnya adalah memperkuat konsolidasi antar masyarakat adat dan kelompok sipil. Menurutnya, hal itu penting untuk memastikan pengelolaan wilayah tetap berada di tangan rakyat sebagai bagian dari konservasi berbasis kearifan lokal. “Kami akan melanjutkan kampanye publik, advokasi kebijakan, serta memperluas dukungan solidaritas lintas jaringan agar suara penolakan ini semakin kuat terdengar,” ujarnya.
Ia menambahkan, perjuangan mereka tidak hanya sebatas penolakan, tetapi juga mendorong pemerintah untuk mengakui dan melindungi wilayah adat melalui kebijakan yang berkeadilan ekologis.
“Bagi kami, pengelolaan hutan adat dengan kearifan lokal yang sudah berlangsung turun-temurun adalah bukti nyata konservasi yang sesungguhnya, bukan dengan skema top-down yang justru mengancam ruang hidup masyarakat adat,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Dishut Kalsel, Fathimatuzzahra, menyampaikan apresiasi atas keterlibatan seluruh pihak dalam forum tersebut. Ia menilai pertemuan itu membuka ruang komunikasi antara pemerintah dan masyarakat adat terkait usulan taman nasional. “Kami membuka komunikasi apabila ada kendala di lapangan kami siap membantu. Apa yang kami terima hari ini akan disampaikan ke pak gubernur untuk keputusan akhirnya,” pungkas Fathimatuzzahra. []
Redaksi10
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan