JAWA TENGAH – Dunia pendidikan kembali tercoreng, kali ini bukan karena kekerasan fisik, melainkan pelecehan digital berbasis teknologi. Di Semarang, sejumlah siswi dan guru SMA menjadi korban foto cabul hasil rekayasa artificial intelligence (AI) yang dibuat oleh seorang alumnus SMA Negeri 11 Semarang bernama Chiko. Ironisnya, teknologi yang seharusnya menjadi simbol kemajuan, justru dimanfaatkan untuk merendahkan martabat perempuan.
Kasus ini mencuat setelah seorang pengguna media sosial X (Twitter) dengan akun @col*** membeberkan dugaan pelecehan yang melibatkan banyak korban. Dalam unggahannya, ia menulis, “aku di sini mau speak up tentang kasus yang lagi rame tentang pelecahan seksual pelakunya anak fh undip, temen-temen aku banyak yang jadi korban dan bahkan ada video aku tiktokan sama temen aku juga disitu, yang nanya kronologi nya gimana, aku bantu jelasin disini.”
Unggahan itu kemudian viral dan memantik kemarahan publik. Warga dunia maya mempertanyakan lemahnya perlindungan hukum bagi korban pelecehan digital di Indonesia. Sebab, kasus seperti ini bukan yang pertama. Di tengah perkembangan teknologi AI yang semakin canggih, kemampuan untuk memanipulasi wajah dan tubuh seseorang kini menjadi alat kekerasan baru yang sulit dijerat secara tegas oleh hukum.
Pelaku, Chiko, kemudian membuat video klarifikasi berdurasi dua menit yang diunggah di akun resmi Instagram @sman11semarang.official. Dalam video itu, ia mengakui perbuatannya dan meminta maaf. “Saya ingin meminta permohonan maaf atas perbuatan saya, yang di mana saya telah mengedit, meng-upload foto maupun video teman-teman tanpa izin pada akun Twitter saya. Saya menyadari bahwa perbuatan saya telah menimbulkan dampak negatif bagi sekolah SMA Negeri 11 Semarang,” ujar Chiko.
Namun, permintaan maaf di dunia maya tidak bisa serta-merta menghapus trauma para korban. Banyak pihak menilai video permintaan maaf itu justru memperlihatkan betapa lemahnya efek jera bagi pelaku pelecehan digital. Tanpa sanksi hukum yang tegas, permintaan maaf hanya menjadi simbol formalitas sementara para korban harus menanggung beban psikologis dan sosial yang panjang.
Kabid Pembinaan SMA Disdikbud Jawa Tengah, Kustrisaptono, mengatakan kasus ini sudah ditangani secara koordinatif antara sekolah dan dinas. Ia menegaskan bahwa pelaku bukan lagi siswa aktif. “(Pelaku) alumni, lulusan SMAN 11, terus bermain AI itu terus dia mungkin nge-upload,” ujarnya.
Sayangnya, pernyataan tersebut justru menimbulkan kritik baru. Publik menilai pihak sekolah dan dinas seakan cuci tangan hanya karena pelaku sudah berstatus alumnus. Padahal, akar masalahnya lebih dalam: belum adanya sistem literasi digital dan keamanan siber di lingkungan pendidikan.
Kasus ini menjadi potret nyata bahwa di tengah revolusi digital, Indonesia masih gagap menghadapi bentuk baru kekerasan berbasis teknologi. AI yang seharusnya dimanfaatkan untuk inovasi, justru berubah menjadi senjata merusak reputasi dan martabat manusia. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan