TANAHLAUT – Kasus dugaan pelecehan seksual kembali mencoreng wajah Kabupaten Tanahlaut (Tala), Kalimantan Selatan. Di tengah gencarnya kampanye perlindungan anak dan perempuan, kabar memilukan tentang seorang ayah tiri yang diduga merudapaksa anak tirinya sendiri di wilayah Kecamatan Panyipatan justru mencuat ke publik.
Korban yang masih berusia belasan tahun kini harus menanggung trauma berat akibat perbuatan bejat tersebut. Ironisnya, keluarga korban sempat dibuat kecewa setelah laporan mereka ke Polres Tanahlaut dikabarkan tidak langsung diterima. Dugaan ini memunculkan kekecewaan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung bagi masyarakat, terutama bagi korban kekerasan seksual yang lemah dan rentan.
Kabar tersebut segera mendapat perhatian dari berbagai pihak setelah ramai di media sosial. Namun, Kapolres Tanahlaut AKBP Ricky Boy Siallagan dengan tegas membantah isu bahwa pihaknya menolak laporan keluarga korban.
“Tidak benar penyidik kami menolak laporan tersebut. Penyidik hanya meminta agar korban atau pihak keluarga korban melengkapi dulu laporannya,” ujar Ricky, Sabtu (04/10/2025).
Ia menjelaskan, korban memang datang ke Polres Tanahlaut didampingi pihak keluarga dan aparat dari Polsek Panyipatan. Namun, saat proses pemeriksaan awal, korban belum mampu memberikan keterangan yang jelas mengenai waktu kejadian dan kronologi peristiwa.
“Hanya dikatakan bahwa kejadiannya sudah lama, tidak ingat lagi kapan waktu kejadiannya,” tambah Ricky.
Kondisi ini membuat penyidik kesulitan melakukan proses visum karena waktu kejadian yang sudah lama berlalu. Menurut Ricky, penyidik meminta agar laporan dilengkapi dengan bukti tambahan yang bisa memperkuat proses hukum.
Meskipun demikian, masyarakat menilai bahwa respons polisi semestinya lebih tanggap dan berpihak pada korban, bukan sebaliknya. Dalam banyak kasus serupa, anak-anak korban kekerasan seksual sering kali tidak mampu menjelaskan kronologi secara rinci karena tekanan psikologis yang berat. Dalam kondisi demikian, aparat penegak hukum dituntut lebih peka dan berperspektif korban, bukan sekadar berpegang pada prosedur formal.
Kasus ini menjadi cerminan bahwa penanganan kekerasan seksual terhadap anak masih jauh dari ideal. Sikap berhati-hati aparat sering kali dipandang publik sebagai bentuk kurangnya empati terhadap korban. Sementara itu, pelaku justru bisa bersembunyi di balik lemahnya pembuktian dan birokrasi hukum yang berbelit.
Kapolres Tanahlaut memastikan pihaknya tidak akan menutup mata terhadap kasus ini. “Kami akan selalu menindaklanjuti setiap laporan masyarakat. Polres Tanahlaut juga sangat peduli terhadap perlindungan anak-anak dan perempuan dari tindak kekerasan,” tegasnya.
Namun, pernyataan tersebut belum cukup menenangkan keresahan warga. Banyak yang berharap agar aparat tidak hanya berbicara tentang kepedulian, tetapi membuktikannya dengan tindakan nyata cepat, tegas, dan berpihak pada korban.
Kasus ini bukan hanya tentang satu keluarga di Panyipatan, tetapi juga tentang wajah penegakan hukum di negeri ini. Ketika korban butuh perlindungan, apakah aparat benar-benar menjadi tempat berlindung, atau justru menambah luka dengan sikap yang dingin dan kaku? []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan