SAMARINDA – Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), J. Jahidin, mengusulkan pembentukan pos terpadu untuk mengatur lalu lintas tongkang di Sungai Mahakam. Usulan ini bertujuan untuk menertibkan alur pelayaran serta meningkatkan pendapatan bagi Provinsi Kaltim.
Jahidin menilai bahwa Kaltim merugi karena hanya memperoleh retribusi dari jasa pengolongan ponton, sementara izin pelayaran dan izin terkait lainnya dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Selain itu, hasil kekayaan yang diangkut melalui Sungai Mahakam tidak pernah mendapatkan kompensasi atas pencemaran sungai dan kerusakan yang ditimbulkan, seperti rumah warga di bantaran sungai yang terdampak gelombang serta tebing yang tergerus akibat ponton bermuatan.
“Setiap kapal yang lewat seharusnya wajib melapor mengenai jumlah muatan dan membayar retribusi sesuai dengan Perda di pos terpadu. Hasilnya akan langsung masuk ke Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga tidak hanya menguras kekayaan daerah, sementara warga hanya menjadi penonton,” ujar Jahidin, usai menghadiri acara buka puasa bersama Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) di Samarinda, Kamis (20/03/2025).
Jahidin menambahkan, untuk merealisasikan usulan tersebut, diperlukan peraturan daerah (Perda) yang akan mengatur tentang pos terpadu tersebut. Ia mengusulkan agar DPRD Kaltim membuat Perda inisiatif yang melibatkan lintas Komisi, yaitu Komisi I bidang hukum, Komisi II bidang retribusi, Komisi III terkait infrastruktur, dan Komisi IV terkait ketenagakerjaan.
“Kami mengusulkan agar DPRD Kaltim menginisiasi Perda ini, dengan melibatkan berbagai komisi untuk membuat dasar hukum bagi pembentukan pos terpadu di Sungai Mahakam,” tambahnya.
Jahidin juga menekankan bahwa kekayaan alam Kaltim terus dieksploitasi dengan pengawasan minim dari Pemerintah Pusat, sementara masyarakat Kaltim yang menanggung kerugian akibat kerusakan lingkungan dan bencana yang terjadi.
“Wilayah kita terus dikuras, sementara masyarakat Kaltim yang menjadi korban tidak mendapatkan perhatian. Semua terbelenggu dengan aturan pusat, sementara kerugian yang dialami masyarakat tidak pernah diperhitungkan,” tutup Jahidin. []
Penulis: Guntur Riyadi | Penyunting: Nistia Endah