KOTAWARINGIN TIMUR – Dugaan ketidakwajaran dalam penyaluran solar subsidi kembali mencuat di Kabupaten Kotawaringin Timur. Kali ini, sorotan tertuju pada sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di wilayah Sampit yang secara tiba-tiba menghentikan penjualan solar subsidi dengan alasan stok habis. Keputusan tersebut justru memicu tanda tanya besar, menyusul perhitungan kuota harian yang menunjukkan masih adanya sisa ribuan liter BBM bersubsidi.
Situasi ini tidak hanya menimbulkan kekecewaan di kalangan sopir angkutan, tetapi juga memunculkan kekhawatiran publik terkait transparansi dan pengawasan distribusi energi bersubsidi. Solar subsidi sejatinya diperuntukkan bagi sektor transportasi dan pelaku usaha tertentu yang telah ditetapkan pemerintah, sehingga setiap liter yang disalurkan memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi.
Salah satu pengguna solar subsidi, sopir truk berinisial IY, mengaku telah mengantre sejak pagi hari. Bersama puluhan kendaraan lain, ia menunggu giliran pengisian dengan harapan memperoleh jatah sesuai ketentuan. Namun ketika tiba waktunya mengisi, pihak SPBU menyatakan stok telah habis.
“Saya antre dari pagi, tapi saat mau mengisi, tiba-tiba dibilang habis. Ini bukan soal kecewa, tapi soal keadilan. Kami ini pengguna resmi solar subsidi,” kata IY, Sabtu (20/12/2025).
Pernyataan tersebut diperkuat dengan perhitungan sederhana yang dilakukan IY berdasarkan jumlah kendaraan yang telah dilayani. Ia mencatat sekitar 35 unit truk telah mengisi dengan kuota maksimal 80 liter, sementara sekitar 25 kendaraan lain memperoleh jatah 60 liter. Jika dijumlahkan, total pemakaian solar subsidi saat itu baru mencapai sekitar 4.300 liter.
“Artinya masih ada sekitar 3.700 liter yang seharusnya tersedia. Ini bukan selisih kecil, tapi jumlah yang sangat signifikan,” tegasnya.
Alih-alih memberikan penjelasan rinci, pihak SPBU disebut berdalih bahwa sisa solar tersebut disimpan sebagai stok darurat. Dalih ini justru memantik kecurigaan, sebab dalam praktik umum, stok cadangan operasional SPBU biasanya hanya berkisar ratusan liter, bukan ribuan liter dalam jumlah besar.
Kondisi semakin janggal ketika keesokan harinya SPBU tersebut kembali menutup penjualan solar subsidi dengan alasan menunggu pasokan baru dari Pertamina. Penjualan baru dibuka dua hari kemudian setelah pengiriman ulang sebesar 8.000 liter diterima.
“Kalau benar masih ada sisa ribuan liter, mengapa tidak dijual ke konsumen yang berhak? Lalu ke mana sisa itu menghilang?” ujar IY.
Kasus ini menjadi cerminan rapuhnya pengawasan distribusi BBM subsidi di daerah. Tanpa transparansi data dan pengawasan ketat dari pihak berwenang, potensi penyalahgunaan solar subsidi dikhawatirkan terus berulang dan merugikan masyarakat yang benar-benar membutuhkan. []
Admin04
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan