Pernah dengar istilah surat kaleng? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), surat kaleng sama artinya dengan surat buta atau surat gelap, yakni surat yang tidak dibubuhi nama dan alamat pengirim, biasanya dengan maksud mencela, mengkritik, dan sebagainya.
Tapi tahu tidak sejarah pengistilahan surat kaleng? Ada yang membuat hipotesa bahwa surat anonim sejenis ini dahulu kala dimasukkan ke dalam kaleng susu, kemudian dilemparkan melalui pagar tembok ke dalam rumah si alamat. Sekalipun rekaan ini cukup masuk di akal, namun tak didukung fakta sejarah bahwa pada masa lalu pernah ada kebiasaan melontarkan kaleng susu berisi surat ke halaman orang.
Namun sebuah artikel berjudul Soerat Kaleng yang ditulis D. Soemintadiredja yang diterbitkan surat kabar harian Java Bode edisi Rabu, 31 Juli 1957, disebutkan bahwa istilah ‘kaleng’ dalam frasa surat kaleng tak merujuk kepada kata Belanda ‘blik’. Jadi tak ada kaitannya dengan ‘kaleng susu’ atau kaleng-kaleng lainnya. Menurutnya, kata ‘kaleng’ ini mempunyai asal usul yang justru amat romantis.
Kata ‘kaleng’ ini bahkan bukan kata benda melainkan kata kerja. Dalam bahasa Sunda ‘kaleng’ bermakna ‘dekapan mesra dengan seorang gadis atau wanita’ (uit liefde omarmen of omhelzen van meisje of vrouw). Ada juga istilah bahasa Sunda ‘pakaleng-kaleng’ yaitu ‘berjalan bergandengan antara sepasang lelaki dan wanita di mana lengan mereka saling bertautan’. Kutipan penjelasan ini dalam bahasa Belanda tertulis ‘het samen lopen of wandelen van man en vrouw, de rechterarm van de man gestoken onder de linkerarm van de vrouw, dus zoals paartjes plachten te doen’.
Bila sepasang jejaka dan gadis sudah saling menaksir, maka untuk mengadakan pertemuan rahasia, mereka akan saling mengirimkan surat bernada pantun tetapi tanpa identitas nama dan alamat. Ini tentunya untuk berjaga-jaga, apabila surat cinta (minnebriefje) ini jatuh ke tangan orang yang ‘tak berhak’, rahasia mereka berdua akan tetap terjamin. Hanyalah ‘kurir’ kepercayaan mereka yang tahu untuk dan dari siapa surat ini.
Pertemuan rahasia dua insan yang dimabuk asmara akan dilanjutkan dengan dekapan mesra. Menurut penulisnya, adat ketimuran tidak ‘mengijinkan’ sepasang merpati ini berdekapan di depan umum. Bahkan lanjutnya, seorang lelaki ‘pamali’ mencium isterinya atau anak gadisnya di depan publik menurut adat ketimuran ini. Kutipannya: Zelfs een kus geven aan je eigen vrouw of volwassen dochter, in tegenwoordigheid van derden, ligt niet in de aard van de oosterling.
Dewasa ini, kata ‘surat kaleng’ sudah mengalami perubahan makna yaitu surat tanpa identitas yang isinya bernada fitnah (apakah karena iri hati, cemburu atau tuduhan palsu). Apakah Anda sependapat dengan kajian Soemintadiredja yang ditulisnya 55 tahun yang lalu itu? Saya serahkan sepenuhnya pada Anda masing-masing. [] KPA