AS Pimpin Damai, Israel Siap Menyerang

TEL AVIV — Gencatan senjata di Gaza baru berjalan tiga hari, namun Pemerintah Israel sudah menyiapkan babak baru operasi militer. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan negaranya akan melancarkan operasi besar-besaran untuk menghancurkan sisa jaringan terowongan bawah tanah milik Hamas.

Dalam pernyataan resmi pada Minggu (12/10/2025), Katz menegaskan, “Tantangan besar Israel setelah fase pembebasan sandera adalah penghancuran semua terowongan Hamas di Gaza.” Operasi ini disebutnya akan dilakukan di bawah “mekanisme internasional” yang dipimpin oleh Amerika Serikat sponsor utama gencatan senjata yang kini justru menjadi penjamin bagi operasi militer berikutnya.

Pernyataan itu memperlihatkan kontradiksi yang mencolok. Di satu sisi, Israel berbicara tentang perdamaian dan mekanisme internasional; di sisi lain, mereka bersiap melancarkan serangan baru dengan dalih keamanan nasional. Di tengah kehancuran Gaza yang belum pulih, rencana ini terdengar lebih seperti perpanjangan perang daripada upaya rekonsiliasi.

Katz menyebut telah memerintahkan pasukan pertahanan Israel untuk bersiap menjalankan misi penghancuran total terhadap jaringan bawah tanah Hamas. Namun, kehadiran Amerika Serikat sebagai “pemimpin mekanisme internasional” menuai kritik dari sejumlah analis Timur Tengah. Banyak yang menilai, istilah tersebut hanyalah pembenaran diplomatik bagi Washington untuk tetap mempertahankan pengaruh militernya di kawasan.

Hamas diketahui mengoperasikan jaringan terowongan luas di bawah Gaza, yang memungkinkan para anggotanya bergerak tanpa terdeteksi oleh sistem pengintaian Israel. Beberapa terowongan bahkan menembus pagar perbatasan menuju wilayah Israel dan telah digunakan untuk melakukan serangan mendadak.

Namun, selama dua tahun perang yang dipicu oleh serangan lintas batas Hamas pada 7 Oktober 2023, sebagian besar terowongan tersebut telah dihancurkan. Maka, rencana baru Israel untuk “memusnahkan sisa jaringan” menimbulkan pertanyaan: apakah ini benar-benar operasi keamanan, atau upaya memperpanjang kendali militer atas Gaza yang sudah hancur total?

Menurut Katz, penghancuran terowongan akan menjadi bagian dari “tahap berikutnya” dalam rencana gencatan senjata yang disponsori AS. Padahal, tahap pertama baru saja menghasilkan jeda tembakan yang memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan dan pembebasan sandera.

Hamas disebut telah menyetujui tahap awal tersebut, yang dimulai pada Jumat (10/10/2025). Tahap kedua, dijadwalkan Senin (13/10/2025), mencakup pembebasan 48 sandera Israel, baik yang masih hidup maupun telah meninggal. Sebagai imbalannya, Israel dikabarkan akan membebaskan sekitar 250 tahanan politik Palestina serta 1.700 warga Gaza yang ditahan oleh militer.

Namun di tengah proses ini, ancaman operasi baru menimbulkan paradoks: gencatan senjata yang seharusnya menjadi pintu menuju damai malah dijadikan landasan untuk mempersiapkan perang berikutnya.

Hamas menolak keras seruan pelucutan senjata. Pejabat seniornya, Hossam Badran, mengatakan kepada AFP bahwa tahap kedua dari rencana yang diusulkan Amerika Serikat “mengandung banyak kerumitan dan kesulitan.”

Pernyataan ini mencerminkan ketidakpercayaan mendalam terhadap inisiatif perdamaian yang dikendalikan oleh kekuatan asing. Dari sudut pandang Hamas, pelucutan senjata tanpa jaminan kedaulatan hanya berarti menyerahkan kendali penuh kepada Israel—hal yang selama ini mereka lawan.

Badran menyiratkan bahwa proses yang disebut sebagai “demiliterisasi Hamas” sesungguhnya adalah bentuk dominasi baru. Bukan hanya untuk menghancurkan jaringan terowongan, melainkan untuk menghapus eksistensi kelompok itu secara struktural dan ideologis.

Bagi banyak pengamat, operasi penghancuran terowongan hanyalah satu bab dari naskah panjang dominasi Israel atas Gaza. Setiap “rencana perdamaian” datang bersama agenda militer yang baru, dengan legitimasi internasional yang disediakan oleh sekutu-sekutunya di Barat.

Sementara itu, dunia masih menyaksikan Gaza dari layar televisi: wilayah kecil yang terus diseret antara harapan dan kehancuran. Di tengah reruntuhan, istilah “mekanisme internasional” terdengar seperti jargon diplomatik untuk melanjutkan perang dengan cara yang lebih rapi dan disetujui bersama.

Jika perdamaian hanya bisa ditegakkan melalui penghancuran, maka Gaza bukan sedang menuju rekonsiliasi, melainkan sekadar menunggu bab berikutnya dari siklus kekerasan yang sama. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com