JAWA BARAT – Kasus kekerasan seksual kembali menampar nurani publik. Seorang pria berinisial IS (56), warga Garut, Jawa Barat, ditangkap polisi setelah diketahui menyetubuhi anak tirinya yang masih duduk di bangku SMA hingga hamil. Tragedi ini tak hanya mengguncang moral, tetapi juga memperlihatkan betapa lemahnya sistem perlindungan anak di tingkat keluarga dan sekolah.
Kasat Reskrim Polres Garut, AKP Joko Prihatin, mengatakan IS resmi ditetapkan sebagai tersangka dan telah ditahan di Rutan Mako Polres Garut sejak Kamis (23/10/2025) dini hari. “Sudah kami lakukan penetapan status tersangka dan dilakukan penahanan,” ujar Joko, Jumat (24/10/2025).
Ironisnya, kasus ini baru terungkap bukan karena pengawasan keluarga, melainkan kepekaan pihak sekolah. Salah seorang teman korban mencurigai perubahan fisik korban yang tampak seperti sedang hamil. Kecurigaan itu disampaikan kepada wali kelas yang kemudian menindaklanjuti dengan memintai keterangan korban. “Pengakuannya kepada guru, bahwa memang korban kerap disetubuhi oleh ayah tirinya,” ucap Joko.
Setelah mendengar pengakuan korban, pihak sekolah segera membawa remaja tersebut ke bidan. Hasil pemeriksaan mengungkapkan bahwa korban tengah mengandung dengan usia kehamilan delapan hingga sembilan bulan. Fakta ini menohok, sebab artinya kekerasan telah berlangsung lama tanpa ada tanda-tanda terdeteksi oleh lingkungan sekitar.
Peristiwa di Garut ini bukan kasus tunggal. Setiap tahun, ratusan anak di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual oleh orang-orang terdekat ayah tiri, paman, bahkan kakek sendiri. Namun, banyak kasus yang tertutup karena rasa takut, stigma, dan budaya diam yang masih kuat. Ironisnya, rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru berubah menjadi ruang paling berbahaya bagi anak-anak perempuan.
Tragedi ini menunjukkan bahwa perlindungan anak di Indonesia masih sebatas formalitas hukum. Regulasi ada, lembaga ada, tetapi pencegahan dan pengawasan sering kali absen. Tidak ada sistem yang benar-benar menjaga anak ketika kejahatan terjadi di balik pintu rumah sendiri. Sekolah menjadi satu-satunya tempat korban menemukan keberanian untuk bicara dan itu pun terjadi setelah kehamilan hampir mencapai sembilan bulan.
Kepolisian telah menahan pelaku, namun persoalan utama tetap ada: di mana tanggung jawab negara dalam memastikan setiap anak terlindungi dari predator seksual, terutama di lingkup keluarga? Tanpa pendidikan moral, pengawasan sosial, dan pendampingan psikologis yang serius, kasus seperti ini akan terus berulang, mengoyak masa depan generasi muda Indonesia. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan