Bahasa Jadi Tameng Bos Tambang!

TANJUNG SELOR – Sidang perdana perkara kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal PT Pipit Mutiara Jaya (PMJ) kembali menyisakan tanda tanya besar soal penegakan hukum di negeri ini. Sidang yang seharusnya menjadi langkah awal menegakkan keadilan lingkungan justru harus ditunda hanya karena alasan klasik: terdakwa mengaku tidak paham bahasa Indonesia.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Kelas IB Tanjung Selor, Senin (20/10/2025), terdakwa Juliet Kristianto Liu, pemilik sekaligus pemegang saham mayoritas PT PMJ, menyatakan hanya memahami sebagian bahasa Indonesia. “Hanya 40 persen saya paham (bahasa Indonesia),” ujarnya menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Juply Sandria Pasanriang.

Ironisnya, Juliet bukan warga asing baru. Ia sudah dua dekade tinggal di Tarakan dan telah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Namun, alasan “tidak paham bahasa” kini justru menjadi penghalang jalannya proses hukum atas kerusakan lingkungan serius di Tana Tidung.

Sidang yang menghadirkan tiga terdakwa M Yusuf (47), Joko Rusdiono (62), dan Juliet (69) berlangsung secara virtual dari Lapas Tarakan. Jaksa Penuntut Umum Ari Wibowo turut hadir secara daring. Ketua Majelis Hakim pun menegaskan, “Karena salah satu terdakwa kurang paham Bahasa Indonesia, maka sidang tidak bisa dilanjutkan. Kita akan hadirkan penerjemah yang ditunjuk Hakim.”


Penundaan ini merujuk Pasal 177 KUHAP yang memang mengatur hak terdakwa untuk didampingi penerjemah. Namun publik menilai alasan itu terasa janggal apalagi mengingat posisi Juliet sebagai WNI sekaligus pelaku usaha tambang besar yang sudah lama beroperasi di Indonesia.

Sidang lanjutan dijadwalkan Senin (27/10/2025) mendatang dengan agenda pembacaan dakwaan. Dalam persidangan itu, Majelis Hakim juga sempat membacakan Pakta Integritas di hadapan semua pihak untuk menegaskan larangan gratifikasi, suap, maupun komunikasi di luar sidang. “Seluruh pihak berkomitmen tidak memberi hadiah, janji, atau suap dalam bentuk apa pun kepada hakim, panitera maupun jurusita,” tegas Hakim Juply.

Kasus PT PMJ sendiri menjadi sorotan tajam setelah perusahaan itu terbukti melakukan penambangan tanpa izin di koridor milik negara dan IUP PT MBJ di Desa Bebatu, Kecamatan Sesayap Hilir, Kabupaten Tana Tidung. Sebelumnya, pengadilan telah menjatuhkan pidana denda Rp50 miliar dan tambahan Rp35 miliar atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Putusan ini sudah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kaltara.

Lebih dari sekadar kasus hukum, perkara ini menunjukkan bagaimana pengawasan lingkungan di sektor pertambangan masih longgar. Juliet bahkan sempat masuk daftar pencarian orang (DPO) dan Red Notice Interpol, sebelum akhirnya ditangkap di Bandara Changi, Singapura (26 Juli 2025). Kini, ketika akhirnya harus menghadapi pengadilan, publik berharap sidang ini tidak lagi berubah menjadi drama penundaan tanpa ujung.

Kritik publik pun muncul: bagaimana mungkin seorang pengusaha tambang besar, yang telah lama menjadi WNI dan menikmati sumber daya alam Indonesia, tiba-tiba “tidak paham bahasa nasional”? Pertanyaan itu kini menggantung di ruang sidang, menggambarkan lemahnya konsistensi sistem hukum dalam menghadapi pelanggaran lingkungan oleh korporasi besar. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com