Bantuan Militer ke Ukraina Dihentikan Sementara oleh AS

AMERIKA SERIKAT – Amerika Serikat (AS) telah menghentikan sementara bantuan militer ke Ukraina. Keputusan ini diambil beberapa hari setelah ketegangan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Ruang Oval. Seorang pejabat Gedung Putih pada Selasa (04/03/2025) mengonfirmasi penghentian tersebut sambil menilai kembali alokasi bantuan untuk memastikan bahwa tujuan penghentian konflik tercapai. Penundaan ini akan berlanjut hingga Trump merasa para pemimpin negara menunjukkan komitmen terhadap perdamaian.

Menurut laporan Fox News, penghentian ini bersifat sementara, bukan permanen. Sementara itu, Bloomberg melaporkan bahwa seluruh peralatan militer AS yang belum sampai di Ukraina—termasuk senjata yang sedang dalam pengiriman via pesawat, kapal, atau yang transit di Polandia—juga dihentikan. Laporan ini muncul beberapa jam setelah Trump menyatakan bahwa ia belum membahas penggunaan bantuan militer untuk Ukraina, namun menegaskan, “Zelensky harus lebih menghargai dukungan Washington.”

Selama hampir tiga tahun perang, AS telah mengalokasikan miliaran dolar bantuan melalui tiga mekanisme utama:

  1. Presidential Drawdown Authority (PDA), yang memungkinkan militer AS menggunakan persediaan sendiri untuk dikirim ke Ukraina. Dana yang tersisa sekitar $3,85 miliar (Rp62 triliun), dan Gedung Putih masih mengevaluasi pencairannya.
  2. Foreign Military Financing (FMF) senilai $1,5 miliar (Rp24 triliun), yang diberikan dalam bentuk hibah atau pinjaman, dan saat ini sedang ditinjau oleh Senator Marco Rubio.
  3. Ukraine Security Assistance Initiative (USAI), yang memberikan dana langsung kepada Ukraina untuk membeli senjata dari produsen.

Selain itu, terdapat laporan bahwa Menteri Pertahanan AS memerintahkan penghentian sementara operasi siber terhadap Rusia, yang berpotensi melemahkan pertahanan Ukraina. Alasan di balik keputusan ini belum diumumkan secara resmi. The Record, publikasi yang fokus pada keamanan siber, melaporkan bahwa ratusan personel terdampak perintah tersebut, termasuk yang terlibat dalam penguatan pertahanan digital Ukraina. Pejabat senior Departemen Pertahanan AS menolak memberikan komentar rinci, namun menegaskan bahwa keselamatan personel adalah prioritas utama dalam semua operasi, termasuk yang terkait dengan dunia maya.

Di tengah ketegangan tersebut, Perancis dan Inggris mengusulkan gencatan senjata sebagian selama satu bulan antara Rusia dan Ukraina. Presiden Perancis Emmanuel Macron mengungkapkan bahwa gencatan senjata ini akan mencakup serangan terhadap infrastruktur udara, laut, dan energi, namun tidak mencakup pertempuran darat.

“Ini akan menjadi ujian bagi niat baik Presiden Rusia Vladimir Putin,” ujar Macron dalam wawancara dengan Le Figaro. Namun, Menteri Angkatan Bersenjata Inggris, Luke Pollard, membantah rencana tersebut sebagai kebijakan resmi.

Sementara itu, Presiden Zelensky melalui unggahan media sosial menuduh Rusia melanjutkan “teror udara” dengan meluncurkan lebih dari 20 rudal dan 1.300 bom dalam seminggu terakhir.

“Ukraina ingin perang berakhir, namun Rusia justru menghancurkan kota dan membunuh warga. Jika mereka ingin dialog, hentikan serangan rudal,” tulis Zelensky.

Kepala Angkatan Darat Ukraina, Mykhailo Drapaty, mengonfirmasi serangan Rusia pada 1 Maret 2025 di tempat latihan di wilayah Dnipropetrovsk yang menewaskan lebih dari 30 tentara dan melukai 100 orang. Drapaty menegaskan bahwa siapa pun yang bertanggung jawab atas keputusan tersebut akan dihukum berat.

Hingga saat ini, belum jelas bagaimana penghentian bantuan militer AS dan proposal gencatan senjata Barat akan memengaruhi dinamika perang. Namun, langkah ini menegaskan kompleksitas upaya perdamaian di tengah eskalasi konflik yang terus berlangsung. []

Penulis: Muhammad Yusuf | Penyunting: Nistia Endah Juniar Prawita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com