NUNUKAN – Perubahan garis batas negara Indonesia–Malaysia di Pulau Sebatik bukan sekadar persoalan peta. Di lapangan, pergeseran batas wilayah itu mulai menyentuh kehidupan warga, dari status lahan hingga sumber penghidupan. Situasi inilah yang mendorong Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan bergerak cepat melakukan identifikasi menyeluruh terhadap dampak sosial, ekonomi, dan keamanan di wilayah perbatasan tersebut.
Melalui Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD), Pemkab Nunukan menindaklanjuti Nota Kesepahaman (MoU) Republik Indonesia–Malaysia Nomor 33 Tahun 2025 tentang Penyelesaian Outstanding Boundary Problems (OBP) Segmen Pulau Sebatik dan Segmen Sumantipal. Kesepakatan bilateral itu membawa konsekuensi nyata di lapangan, baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat perbatasan.
Kepala BPPD Nunukan, Robby Nahak Serang, menegaskan bahwa perubahan batas negara tidak bisa dipandang semata sebagai urusan administratif. Dampaknya merembet ke berbagai aspek kehidupan warga.
“Perubahan batas negara ini berdampak langsung terhadap objek di atas tanah. Ada lahan, bangunan, tanaman, hingga aktivitas masyarakat yang ikut berubah status kewilayahannya. Karena itu, perlu penanganan yang cermat dan terukur,” ujar Robby pada Kamis (18/12/2025).
Salah satu dampak paling mencolok dari hasil kesepakatan OBP adalah beralihnya areal perkebunan sawit seluas lebih dari 127 hektare yang sebelumnya berada di wilayah Malaysia dan kini masuk ke wilayah Indonesia. Lahan tersebut berstatus tanah negara, sehingga memerlukan kejelasan kebijakan agar tidak memicu sengketa baru.
Menurut Robby, sesuai arahan Bupati Nunukan H. Irwan Sabri, BPPD mendorong adanya ketetapan atau surat edaran resmi sebagai payung hukum pengelolaan sementara lahan negara hasil OBP. “Tanpa dasar hukum yang jelas, lahan ini berpotensi menimbulkan persoalan baru. Pemerintah daerah berharap ada kebijakan yang tegas dan terkoordinasi,” jelasnya.
Di sisi lain, perubahan batas wilayah juga membawa dampak sebaliknya. Sekitar 4,9 hektare lahan yang sebelumnya berada di wilayah Indonesia kini masuk ke wilayah Malaysia. Di area tersebut terdapat tanah bersertifikat milik warga, bangunan, serta tanaman produktif yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat.
“Dampak sosial dan ekonomi masyarakat menjadi perhatian utama. Arahan Bupati jelas, yakni meminimalkan dampak negatif terhadap aktivitas warga serta mencegah potensi konflik sosial sejak dini,” kata Robby.
Untuk memastikan kondisi riil di lapangan, BPPD bersama perangkat daerah terkait telah melakukan peninjauan langsung. Langkah ini bertujuan memverifikasi keberadaan warga, aktivitas ekonomi, serta potensi gangguan ketertiban dan keamanan akibat perubahan garis batas negara.
Berdasarkan hasil survei bersama Indonesia–Malaysia, garis batas negara di Pulau Sebatik kini disepakati sepanjang 22,605 kilometer, dengan 225 titik batas (vertex) serta 148 pilar batas negara dari berbagai tipe yang telah terpasang.
Robby memastikan, seluruh hasil identifikasi lapangan akan dibahas dalam rapat koordinasi internal Pemkab Nunukan. Selanjutnya, laporan tersebut akan disampaikan oleh Bupati Nunukan kepada Gubernur Kalimantan Utara dan Pemerintah Pusat, khususnya Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
“Prinsipnya, pemerintah hadir untuk memberikan kepastian hukum, melindungi masyarakat, dan menjaga stabilitas sosial di wilayah perbatasan,” tegasnya.
Ia menambahkan, Pemkab Nunukan berharap adanya kebijakan lanjutan dari Pemerintah Pusat, mulai dari pengelolaan lahan negara hasil OBP, mekanisme kompensasi atau ganti untung bagi warga terdampak, hingga penguatan pengamanan wilayah, agar perubahan batas negara tidak berkembang menjadi konflik sosial di Pulau Sebatik. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan