KATHMANDU – Bencana kembali menghantam Nepal dan India, dua negara yang seolah tak pernah diberi jeda dari derita alam. Sejak Jumat (03/10/2025), hujan deras tanpa henti menimbulkan banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah Nepal. Sedikitnya 42 orang tewas dan lima lainnya masih dinyatakan hilang. Namun, di balik laporan angka dan pernyataan resmi, muncul pertanyaan besar: mengapa bencana serupa terus berulang tanpa ada langkah serius untuk mengantisipasi dampaknya?
“Sejauh ini, 42 orang tewas dalam bencana yang dipicu oleh hujan dan lima orang masih hilang,” kata Shanti Mahat, juru bicara Otoritas Pengurangan Risiko Bencana Nasional Nepal, kepada AFP, Minggu (05/10/2025). Sebagian besar korban berasal dari Distrik Illam, Nepal bagian timur, yang dihantam longsoran tanah setelah hujan deras semalaman.
“Hujan deras semalaman menyebabkan tanah longsor. Karena jalan-jalan terblokir, beberapa daerah sulit dijangkau. Petugas penyelamat menuju ke sana dengan berjalan kaki,” ujar pejabat distrik setempat, Sunita Nepal. Pernyataan itu menunjukkan betapa terbatasnya kesiapan pemerintah dalam merespons bencana yang sudah dapat diprediksi setiap tahun.
Sungai-sungai di ibu kota Kathmandu juga meluap, merendam permukiman padat di sepanjang bantaran. Aparat keamanan dikerahkan dengan helikopter dan perahu motor untuk mengevakuasi warga. Namun upaya penyelamatan itu terlambat bagi puluhan korban yang terjebak di tengah malam saat air datang tanpa peringatan.
Lebih ironis, jalan-jalan utama di beberapa wilayah ditutup akibat longsor, dan ratusan pelancong banyak di antaranya baru pulang dari perayaan festival Hindu Dashain terlantar tanpa kejelasan. Di tengah situasi ini, muncul kritik terhadap sistem transportasi dan tata ruang Nepal yang dianggap gagal mengantisipasi dampak monsun.
Setiap tahun, dari Juni hingga September, Asia Selatan selalu dilanda musim monsun. Namun, pola bencana yang terus meningkat menandakan bukan sekadar fenomena alam biasa. Para ahli telah lama memperingatkan bahwa perubahan iklim memperparah intensitas hujan ekstrem dan mempercepat kerusakan lingkungan di kawasan pegunungan Himalaya.
Sementara itu, di India utara, penderitaan serupa terjadi. Sedikitnya 20 orang tewas di wilayah Darjeeling, Benggala Barat, akibat hujan deras yang memicu banjir dan tanah longsor. “Hujan deras sepanjang malam dengan curah hujan mencapai 300 milimeter telah menyebabkan sungai-sungai meluap dan menghancurkan infrastruktur,” kata anggota parlemen Harsh Vardhan Shringla, Minggu (05/10/2025).
Air bah menghanyutkan jembatan, memutus jalan, dan menenggelamkan rumah warga. Perdana Menteri India Narendra Modi menyampaikan belasungkawa, menyebut pemerintah “memantau situasi secara ketat.” Namun, ucapan simpatik semacam itu terdengar berulang dari tahun ke tahun, sementara pembangunan di kawasan pegunungan tetap berlangsung tanpa kendali.
Kepala Menteri Benggala Barat, Mamata Banerjee, menuturkan, “Dua jembatan besi runtuh, beberapa jalan rusak dan terendam, serta sebagian besar lahan pertanian tergenang air.” Pernyataan itu kembali menegaskan lemahnya tata kelola lingkungan di India, di mana proyek-proyek infrastruktur seringkali menabrak prinsip konservasi demi percepatan ekonomi.
Para ahli menilai, selain faktor perubahan iklim, akar masalahnya adalah pembangunan tanpa perencanaan matang. Di wilayah pegunungan yang rapuh, pembabatan hutan, eksploitasi lahan, dan urbanisasi liar menjadi bom waktu ekologis. Ketika hujan deras datang, alam seolah menagih hutang dari kelalaian manusia sendiri.
Ironisnya, setiap kali bencana datang, perhatian publik hanya bertahan sejenak hingga berita berganti dan korban berikutnya menunggu giliran. Nepal dan India tampak masih terjebak dalam siklus lama: berduka, berjanji, lalu lupa. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan