BANTEN – Dua pria berinisial A dan H ditangkap polisi di kawasan Jalan A.R. Hakim, Sukasari, Kota Tangerang, setelah keduanya diduga memperjualbelikan obat keras golongan G tanpa izin dengan sistem cash on delivery (COD). Namun, kasus ini kembali mengungkap ironi lama: betapa mudahnya obat keras beredar di tengah lemahnya pengawasan dan kontrol distribusi farmasi di tingkat lokal.
Kasat Reskrim Polres Metro Tangerang Kota, Kompol Awaludin, menjelaskan bahwa pengungkapan berawal dari laporan masyarakat mengenai praktik jual beli obat keras secara COD. “Tim kami melakukan observasi dan langsung melakukan penindakan di lokasi. Kedua pelaku diamankan beserta barang bukti ratusan butir obat keras golongan G yang dijual tanpa izin resmi,” ujar Awaludin, Kamis (16/10/2025).
Kedua pelaku diringkus pada Selasa (14/10/2025) malam dengan sejumlah barang bukti mencengangkan: 325 butir obat tramadol, 102 butir pil warna kuning diduga hexymer, uang tunai Rp 875 ribu hasil penjualan, dan tiga unit ponsel yang digunakan untuk transaksi. “Kedua pelaku mengaku menjual obat-obatan tersebut kepada pelanggan tetap dengan sistem pesan antar. Transaksi dilakukan secara langsung di depan rumah kos yang mereka jadikan tempat penyimpanan dan penjualan,” tambah Awaludin.
Polisi menahan keduanya di Mapolres Metro Tangerang Kota untuk penyidikan lebih lanjut, sekaligus menelusuri sumber peredaran obat keras tersebut. “Kami akan terus menindak tegas praktik ilegal penjualan obat keras tanpa izin. Hal ini sangat membahayakan kesehatan masyarakat dan kerap disalahgunakan untuk tujuan yang tidak semestinya,” tegas Awaludin.
Namun, penangkapan demi penangkapan seperti ini kerap hanya memutus rantai paling bawah dari bisnis gelap obat keras yang sudah mengakar. A dan H hanyalah pemain kecil dalam rantai panjang peredaran obat yang seringkali melibatkan pemasok besar yang lolos dari jerat hukum. Sementara di sisi lain, lemahnya edukasi masyarakat tentang bahaya konsumsi obat keras tanpa resep dokter memperburuk situasi.
Di banyak kota, termasuk Tangerang, penjualan obat keras golongan G kini berpindah ke ruang abu-abu digital dijajakan lewat media sosial, pesan instan, hingga sistem COD seperti ini. Sayangnya, penindakan hukum lebih sering bersifat reaktif ketimbang preventif, muncul hanya setelah laporan warga.
Fenomena ini menandakan perlunya pembenahan serius dalam pengawasan obat di tingkat distribusi, termasuk kontrol dari pihak farmasi resmi. Tanpa langkah struktural, penangkapan seperti ini hanya akan jadi berita rutin yang berulang tanpa menyentuh akar masalah: pasar gelap obat keras yang tumbuh karena kombinasi lemahnya regulasi dan tingginya permintaan di kalangan pengguna muda. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan