BEIJING – Dunia internasional kembali menyoroti kondisi kebebasan pers di Tiongkok setelah jurnalis independen Zhang Zhan dijatuhi vonis empat tahun penjara pada Jumat (19/09/2025). Zhang, yang dikenal luas karena liputan langsungnya mengenai fase awal pandemi Covid-19 di Wuhan pada 2020, dinilai bersalah dengan tuduhan “memicu pertengkaran dan memprovokasi masalah”. Tuduhan serupa juga pernah menjeratnya beberapa tahun lalu.
Organisasi internasional yang fokus pada kebebasan pers, Reporters Without Borders (RSF), menilai keputusan pengadilan itu sebagai bentuk pembungkaman terhadap jurnalisme independen. “Ia seharusnya dirayakan secara global sebagai ‘pahlawan informasi’, bukan terjebak dalam kondisi penjara yang brutal,” ujar Aleksandra Bielakowska, manajer advokasi RSF Asia-Pasifik. Ia menambahkan, “Perintah dan penganiayaan terhadapnya harus diakhiri. Kini, komunitas diplomatik internasional lebih mendesak dari sebelumnya untuk menekan Beijing agar segera membebaskannya.”
Kasus terbaru Zhang tidak hanya menyoroti ketegangan lama antara pemerintah Tiongkok dan kebebasan berekspresi, tetapi juga membuka kembali perdebatan soal transparansi informasi publik. Menurut RSF, vonis itu terkait dengan laporan Zhang mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia di dalam negeri. Dakwaan terbaru diduga dipicu komentar Zhang di platform luar negeri, yang kemudian dianggap melanggar aturan oleh otoritas setempat.
Mantan pengacaranya, Ren Quanniu, melalui unggahan di X, menegaskan bahwa Zhang seharusnya tidak dihukum hanya karena menyampaikan pendapat. “Dakwaan baru ini didasarkan pada komentar jurnalis tersebut di web luar negeri dan ia tidak seharusnya dianggap bersalah,” tulisnya.
Kepolisian maupun Kejaksaan Tiongkok hingga kini belum merinci aktivitas spesifik yang dijadikan dasar dakwaan. Kondisi ini memperkuat pandangan kelompok pembela hak asasi manusia bahwa Zhang menjadi korban kriminalisasi kebebasan pers.
Direktur Asia-Pasifik untuk Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) di New York, Beh Lih Yi, menyebut proses hukum Zhang sebagai bentuk penindasan terang-terangan. “Ini adalah kedua kalinya Zhang Zhan diadili atas tuduhan tak berdasar yang tidak lebih dari sekadar tindakan penganiayaan terang-terangan atas pekerjaan jurnalismenya. Pihak berwenang China harus mengakhiri penahanan sewenang-wenang terhadap Zhang, membatalkan semua dakwaan, dan segera membebaskannya,” ujarnya.
Zhang Zhan bukanlah sosok baru dalam sorotan media internasional. Pada 2020, ia melakukan liputan independen di Wuhan dengan membagikan video dan laporan dari rumah sakit penuh sesak, jalanan kosong, hingga kesaksian warga yang memperlihatkan kondisi berbeda dari narasi resmi pemerintah. Liputannya sempat viral dan menjadi salah satu sumber informasi awal mengenai skala pandemi Covid-19.
Namun, keberaniannya itu berujung pada penangkapan. Pada Desember 2020, Zhang divonis hukuman penjara dengan tuduhan yang sama. Saat itu, ia menilai dirinya “dianiaya karena menjalankan kebebasan berbicara”. Selama penahanan, ia sempat melakukan mogok makan panjang sebagai bentuk protes, yang membuat kesehatannya memburuk. Menurut catatan pengacaranya, Zhang bahkan dipaksa makan dengan cara dicekoki melalui selang ketika tangannya diikat.
Meski sempat dibebaskan pada Mei 2024, Zhang kembali ditahan tiga bulan kemudian. Ia kemudian ditempatkan di Pusat Penahanan Pudong, Shanghai, sebelum akhirnya kembali disidangkan dan divonis pada September 2025. Siklus penahanan yang berulang ini dinilai sebagai bentuk tekanan sistematis terhadap kebebasan pers di Tiongkok.
Hingga kini, Kementerian Luar Negeri Tiongkok tidak memberikan komentar resmi terkait kasus Zhang. Upaya Reuters untuk meminta tanggapan pemerintah juga tidak membuahkan hasil. Selain itu, belum jelas apakah Zhang memperoleh akses terhadap pendampingan hukum dalam kasus terbarunya.
Kondisi yang dialami Zhang memunculkan keprihatinan mendalam di kalangan jurnalis dan pegiat HAM. Mereka menilai penindasan terhadap pers tidak hanya merugikan individu, tetapi juga masyarakat luas yang berhak mendapatkan informasi akurat. Kasus ini juga menyoroti betapa rapuhnya posisi jurnalis independen di negara dengan sistem politik yang sangat ketat terhadap kontrol informasi.
Zhang Zhan kini menjadi simbol perlawanan terhadap pembatasan kebebasan pers di Tiongkok. Kisahnya menambah daftar panjang jurnalis yang menghadapi risiko tinggi karena menjalankan tugasnya menyampaikan fakta di lapangan. Sementara komunitas internasional mendesak pembebasannya, nasib Zhang masih terikat pada keputusan pemerintah Beijing yang hingga kini tidak menunjukkan tanda melonggarkan sikapnya. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan