WASHINGTON DC – Dunia digital yang semestinya menjanjikan kemudahan kini berubah menjadi ladang emas bagi penjahat lintas negara. Dalam tiga tahun terakhir, geng kriminal asal China dilaporkan berhasil mengeruk lebih dari 1 miliar dolar AS (sekitar Rp16 triliun) dari warga Amerika Serikat melalui skema “smishing”, perpaduan antara SMS dan phishing. Di era kecerdasan buatan dan keamanan siber berlapis, fakta ini menampar klaim AS sebagai negara dengan sistem perlindungan digital paling maju di dunia.
Menurut laporan Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS), sindikat tersebut menjalankan operasi rumit yang memadukan pesan teks palsu, pencurian identitas, tagihan pemerintah fiktif, hingga teknologi pembayaran digital lintas negara. Dengan menggunakan praktik “ternak SIM”, para pelaku mampu menyebar ribuan pesan dari berbagai lokasi tanpa mudah dilacak.
“Satu orang dengan ternak SIM dapat mengirim jumlah pesan setara dengan 1.000 nomor telepon,” kata Adam Parks, Asisten Agen Khusus di Homeland Security Investigations, seperti dikutip The Independent, Rabu (15/10/2025). Pesan-pesan itu biasanya menyamar sebagai pemberitahuan resmi pemerintah mulai dari denda tol, tagihan pajak, hingga ancaman penangguhan akun bank.
Ironisnya, sebagian besar korban adalah warga negara AS yang terperangkap oleh sistem keamanannya sendiri. Setelah mengklik tautan yang disisipkan, mereka diarahkan ke situs palsu yang mencuri kata sandi dan data keuangan. Informasi itu kemudian dialihkan ke dompet digital seperti Google Pay atau Apple Pay di Asia, sebelum digunakan untuk membeli kartu hadiah, iPhone, dan barang mewah lainnya yang dikirim ke China.
Pejabat di sejumlah negara bagian, seperti Florida, Texas, California, dan Washington DC, telah mengeluarkan peringatan publik. “Warga sebaiknya mengabaikan pesan semacam ini dan segera melaporkannya ke FTC,” tegas Brian Schwalb, Jaksa Agung Washington DC, pada Mei lalu. Namun, peringatan itu terdengar seperti seruan di tengah badai karena penipuan terus berkembang jauh lebih cepat daripada langkah penegakan hukum.
Jennifer Givner, juru bicara New York State Thruway Authority, mengaku pihaknya kewalahan menghadapi gelombang pesan palsu yang mengatasnamakan sistem tol E-ZPass. “Kami tidak tahu siapa pelakunya. Kami hanya tahu penipuan ini terus muncul dan berubah setiap beberapa hari,” ujarnya kepada NBC News pada Maret lalu.
Data FBI menunjukkan hampir 60.000 warga melaporkan menjadi korban penipuan berbasis SMS pada tahun lalu, sementara peneliti yang dikutip The Wall Street Journal mencatat sekitar 330.000 pesan palsu bertema tagihan tol dikirim hanya dalam satu hari bulan lalu tiga kali lipat dari Januari 2024. Lonjakan ini menegaskan betapa lemahnya perlindungan digital publik meski pemerintah AS terus menggelontorkan miliaran dolar untuk keamanan siber.
Lebih mengkhawatirkan lagi, penipuan ini telah menjadi industri kejahatan siap jual. Di platform Telegram, kelompok kriminal dilaporkan menjual paket lengkap smishing kit yang memungkinkan siapa pun menjalankan kejahatan serupa. Artinya, penipuan kini bisa “dipesan” seperti layanan daring biasa.
Ironi global semakin jelas: ketika Washington kerap menuduh Beijing mencuri data dan melanggar privasi digital, para penjahat dari China justru bebas memanfaatkan celah di jantung sistem Amerika. Negara adidaya yang menggadang “kedaulatan siber” tampak tak berdaya menghadapi pesan-pesan kecil yang mengguncang miliaran dolar ekonomi rakyatnya.
Sementara pemerintah berdebat tentang geopolitik dan keamanan nasional, warga biasa menjadi korban nyata dari perang siber tanpa senjata hanya dengan satu pesan teks. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan