Dana Rp6 Miliar untuk ‘Anak Nakal’ di Barak Militer: Solusi atau Pembodohan?

JAKARTA – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengkritik keras kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang mengalokasikan anggaran sebesar Rp6 miliar untuk program pembinaan karakter siswa bermasalah di barak militer. Langkah ini dinilai tidak hanya keliru dalam prioritas, tetapi juga mencerminkan pendekatan yang tidak sesuai dengan semangat pendidikan yang seharusnya mendidik dan memberdayakan.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang akrab disapa KDM telah mengonfirmasi penggunaan anggaran tersebut untuk membina anak-anak yang dikategorikan “nakal” melalui pelatihan di lingkungan militer. JPPI memandang kebijakan ini sebagai bentuk pemborosan anggaran negara. Menurut Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI, pendekatan semacam itu bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan dan kenakalan remaja di provinsi ini.

Ubaid menyoroti bahwa dana sebesar itu lebih tepat jika digunakan untuk memperkuat sistem pendidikan karakter di sekolah, menghadirkan layanan konseling dan psikologis yang layak, atau menciptakan program pemberdayaan masyarakat yang mampu menyentuh akar persoalan sosial. Ia menyebut langkah pemerintah sebagai bentuk pengalihan anggaran ke pendekatan yang efektivitasnya belum terbukti secara ilmiah dan berisiko memunculkan konsekuensi negatif jangka panjang.

Menurutnya, disiplin yang mungkin ditanamkan dalam barak militer bersifat sementara dan tidak menyelesaikan persoalan psikologis atau sosial yang menjadi dasar perilaku menyimpang. Setelah anak-anak tersebut kembali ke lingkungan mereka semula tanpa pendampingan berkelanjutan, potensi mereka untuk mengulangi perilaku sebelumnya tetap tinggi. Oleh karena itu, solusi militeristik dinilai hanya akan menyelesaikan masalah di permukaan.

Lebih jauh lagi, JPPI mengkritisi lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran program tersebut. Ubaid mempertanyakan bagaimana mekanisme evaluasi akan dilakukan, indikator kinerja yang digunakan, serta bagaimana masyarakat bisa mengawasi keberhasilan atau kegagalan dari program bernilai miliaran rupiah tersebut. Tanpa kejelasan, menurutnya, risiko penyalahgunaan dana publik sangat besar.

Ia juga menekankan bahwa pendekatan yang lebih hemat dan tepat sasaran bisa diambil. Misalnya, memperkuat kapasitas guru bimbingan dan konseling melalui pelatihan yang relevan, atau mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler positif yang mampu menyalurkan energi anak-anak ke arah yang lebih konstruktif. Ia menyatakan bahwa dana Rp6 miliar dapat dimanfaatkan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif dan inklusif bagi semua siswa, bukan hanya segelintir anak yang dianggap bermasalah.

JPPI juga mengkritisi usulan untuk menjadikan program barak militer sebagai kebijakan nasional. Usulan tersebut, yang sebelumnya didukung oleh Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai, dianggap sebagai bentuk pengakuan atas kegagalan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dalam menjalankan mandatnya. Menurut Ubaid, pendekatan represif militer tidak sejalan dengan semangat pendidikan modern yang seharusnya membebaskan, memberdayakan, dan mengembangkan potensi anak secara menyeluruh.

Ia menyatakan bahwa sekolah harus menjadi ruang aman dan menyenangkan bagi anak-anak, tempat mereka bisa tumbuh dengan sehat, berpikir kritis, dan mengembangkan kreativitas. Memaksakan model militer, menurutnya, justru akan membunuh daya pikir kritis anak-anak dan melahirkan generasi yang hanya patuh secara buta. Bagi JPPI, kebijakan ini tidak hanya keliru secara konsep, tetapi juga merupakan kemunduran besar dalam pembangunan peradaban bangsa.

Ubaid menyampaikan bahwa JPPI menolak keras wacana menjadikan program barak militer sebagai bagian dari kebijakan pendidikan nasional. Ia menyerukan pembatalan total terhadap usulan tersebut serta menuntut pertanggungjawaban moral dan profesional dari para penggagasnya. Ia juga mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kemendikbud Ristek, yang menurutnya telah gagal dalam membangun sistem pendidikan yang layak.

JPPI menegaskan bahwa masa depan pendidikan Indonesia seharusnya dibangun di atas prinsip-prinsip humanisme, inklusivitas, dan pengembangan potensi anak secara utuh. Kebijakan yang bersifat instan dan berorientasi militer, menurut mereka, bukan hanya tidak menyelesaikan masalah, tetapi juga mengancam fondasi pendidikan nasional itu sendiri. Ubaid menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam menyaksikan kemunduran tersebut. []

Redaksi11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com