JAKARTA – Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) berhasil membongkar praktik kejahatan siber yang menargetkan sistem operasional perusahaan jasa pengiriman Ninja Xpress. Dalam kasus ini, tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk seorang karyawan lepas dari perusahaan tersebut yang diduga menjadi sumber kebocoran data pelanggan.
Penangkapan terhadap dua dari tiga tersangka dilakukan oleh Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya. Kedua pelaku masing-masing berinisial T dan MFB diamankan di dua lokasi berbeda, yakni di Bandung dan Cirebon, pada tanggal 5 Mei 2025. Sementara itu, satu orang tersangka lainnya yang diduga berperan penting dalam jaringan ini masih buron dan telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
“Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya melakukan pengungkapan dan penangkapan dua pelaku dari tiga pelaku yang saat ini, inisial D sudah DPO,” kata Kepala Subdirektorat Penerangan Masyarakat Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Reonald Simanjuntak, sebagaimana disampaikan dalam siaran Headline News Metro TV, Kamis (11/07/2025).
Modus operandi para pelaku dilakukan dengan cara menyusup ke sistem internal Ninja Xpress menggunakan akun milik seorang karyawan. Dari sana, mereka mendapatkan akses ke berbagai data penting milik pelanggan, termasuk nama, nomor telepon, alamat tujuan, jenis barang yang dikirim, hingga nilai pembayaran layanan Cash On Delivery (COD).
Informasi yang berhasil dibobol tersebut kemudian dijual kepada pihak lain yang memanfaatkannya untuk membuat paket fiktif. Paket-paket palsu ini lalu dikirim ke alamat pelanggan melalui skema COD, menyebabkan korban membayar barang yang tidak pernah mereka pesan. Banyak konsumen tidak menyadari bahwa mereka telah tertipu, dan hal ini menimbulkan keresahan di masyarakat.
Perusahaan Ninja Xpress mengaku mengalami kerugian material yang mencapai lebih dari Rp35 juta akibat penipuan ini. Tidak hanya itu, reputasi dan tingkat kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan pun ikut terdampak.
Ketiga tersangka kini dijerat dengan pasal-pasal yang mengatur tentang akses ilegal terhadap sistem elektronik dan pengambilan data tanpa izin dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Apabila terbukti bersalah, mereka terancam hukuman penjara maksimal delapan tahun serta denda hingga Rp2 miliar. Polisi masih terus mendalami jaringan kejahatan ini untuk mengungkap kemungkinan keterlibatan pihak lain.[]
Admin05