JAKARTA – Untuk menutupi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025 yang diperkirakan mencapai Rp 616,2 triliun atau setara 2,53% dari PDB, pemerintah telah melakukan penarikan utang baru sebesar Rp 250 triliun pada tiga bulan pertama tahun ini. Penarikan utang ini sudah mencapai 40,6% dari target defisit anggaran yang ditetapkan.
Menurut data yang ada, defisit APBN per akhir Maret 2025 tercatat mencapai Rp 104,2 triliun atau 0,45% dari PDB. Angka ini baru mencakup 16,9% dari target defisit yang telah ditetapkan untuk tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa meskipun penarikan utang besar-besaran ini, pemerintah akan tetap menjaga pengelolaan APBN, khususnya terkait utang dan defisit, dengan hati-hati, transparan, dan prudent. “Kami akan tetap menjaga APBN dan terutama utang dan juga defisit kita secara tetap prudent, transparan, hati-hati,” ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (08/04/2025).
Realisasi pembiayaan anggaran yang mencapai Rp 250 triliun pada akhir Maret 2025 ini jauh lebih besar dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2024, yang hanya tercatat sebesar Rp 85,6 triliun. Meski demikian, target pembiayaan anggaran pada 2024 memang sedikit lebih rendah, yaitu sebesar Rp 522,8 triliun.
Rincian pembiayaan anggaran per 31 Maret 2025 menunjukkan bahwa total pembiayaan yang berasal dari utang mencapai Rp 270,4 triliun, sementara pembiayaan non-utang tercatat sebesar Rp 20,4 triliun. Untuk penarikan utang baru, yang dikenal sebagai pembiayaan utang dalam postur APBN, sudah terealisasi sebesar 34,8% dari target Rp 775,9 triliun sepanjang 2025.
Sementara itu, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto pada tiga bulan pertama tahun ini tercatat sebesar Rp 282,6 triliun, yang setara dengan 44% dari target APBN 2025 sebesar Rp 642,6 triliun. Adapun pinjaman secara neto justru tercatat negatif Rp 12,3 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa penarikan utang baru yang besar pada awal tahun ini bukan disebabkan oleh kekurangan penerimaan negara, melainkan sebagai langkah strategis untuk mengantisipasi gejolak pasar keuangan global. Ia mengungkapkan bahwa strategi ini dilakukan untuk menghadapi ketidakpastian, termasuk ancaman perang dagang yang bisa mempengaruhi perekonomian global, terutama pasca kembalinya kebijakan tarif perdagangan tinggi oleh Presiden AS, Donald Trump.
“Ini bukan karena kita kekurangan dana, tetapi lebih kepada strategi dalam mengantisipasi ketidakpastian pasar,” jelas Sri Mulyani. []
Redaksi03