WASHINGTON – Puluhan ribu warga Amerika Serikat (AS) turun ke jalan pada Minggu (06/04/2025) untuk menggelar aksi protes terhadap kebijakan kontroversial Presiden Donald Trump. Aksi unjuk rasa tersebut tercatat sebagai yang terbesar sejak Trump kembali menjabat di Gedung Putih. Protes ini berlangsung di sejumlah kota besar, termasuk Washington, New York, Los Angeles, Houston, Florida, dan Colorado, serta meluas ke ibu kota Eropa, seperti London dan Berlin.
Melansir dari AFP, demonstrasi ini dipicu oleh serangkaian kebijakan yang dianggap merugikan banyak kalangan, mulai dari pemangkasan jumlah staf pemerintahan, kebijakan tarif perdagangan yang agresif, hingga pengurangan kebebasan sipil. Dalam aksi unjuk rasa yang berlangsung sejak Sabtu (05/04/2025), para demonstran menyampaikan berbagai bentuk protes, salah satunya dengan menuntut agar Trump menghentikan kebijakan-kebijakan yang dianggap merusak negara.
Di New York, salah seorang demonstran, Shaina Kesner, seorang pelukis, dengan tegas menyatakan rasa marahnya. Ia menyebut kelompok elit yang mendominasi pemerintahan AS sebagai pihak yang merusak negara. “Saya sangat marah, saya sangat marah, sepanjang waktu, ya. Sekelompok pemerkosa kulit putih yang memiliki hak istimewa mengendalikan negara kita. Itu tidak bagus,” katanya saat bergabung dengan demonstran di jantung kota Manhattan.
Sementara itu, di Washington D.C., ribuan orang yang datang dari berbagai penjuru AS, termasuk New Hampshire, berkumpul di National Mall untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah Trump. Salah seorang peserta, Diane Kolifrath, mengungkapkan bahwa kebijakan Trump telah menyebabkan ketegangan internasional dan merusak hubungan dengan sekutu-sekutu penting AS. “Mereka menghancurkan pemerintahan kita,” kata Kolifrath, yang juga menyebutkan dampak negatif bagi rakyat Amerika.
Protes juga terasa di Los Angeles, di mana seorang wanita mengenakan kostum ala karakter dari novel distopia The Handmaid’s Tale melambaikan bendera bertuliskan pesan: “Keluar dari rahimku,” sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan anti-aborsi yang diterapkan Trump. Di Denver, Colorado, seorang pria mengangkat plakat bertuliskan, “Tidak ada raja untuk AS,” sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap otoriter.
Protes terhadap Trump juga meluas ke Eropa. Di London, Inggris, sejumlah warga AS yang tinggal di sana menggelar unjuk rasa dengan menyuarakan penolakan terhadap kebijakan perdagangan Trump. Salah satunya, Liz Chamberlin, warga negara AS-Inggris, mengungkapkan bahwa kebijakan ekonomi Trump bisa memicu resesi global. “Apa yang terjadi di Amerika adalah masalah semua orang. Itu kegilaan ekonomi. Dia akan mendorong kita ke dalam resesi global,” ujarnya.
Puncak ketegangan ini juga terkait dengan kebijakan terbaru Trump yang menaikkan tarif impor barang dari Indonesia sebesar 32%. Kebijakan ini diterapkan setelah Trump menyoroti tarif 64% yang dikenakan Indonesia terhadap produk etanol asal AS, yang menurutnya jauh lebih tinggi dibandingkan tarif 2,5% yang diterapkan AS untuk produk serupa. Kebijakan ini, yang berdampak pada perdagangan internasional, semakin memperburuk suasana di dalam negeri maupun di luar negeri, dan menjadi salah satu pemicu utama unjuk rasa besar-besaran ini.
Sementara itu, di Berlin, Jerman, seorang pensiunan berusia 70 tahun, Susanne Fest, mengkritik Trump dengan menyebutnya sebagai penyebab “krisis konstitusional” di AS. “Orang itu gila,” ujar Fest, yang turut bergabung dalam demonstrasi di ibu kota Jerman tersebut. []
Redaksi03