NUNUKAN – Kematian tragis seorang pemuda asal Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), di Nunukan, Kalimantan Utara, kembali menampar nurani banyak pihak. Bukan hanya soal nasib nahas Bernadus Bajo Tapun (20) yang ditemukan tewas tergantung di rumah tantenya pada Selasa pagi (14/10/2025) pukul 10.30 WITA, tetapi juga tentang betapa lemahnya sistem kepedulian sosial dan perhatian terhadap kesehatan mental di tengah masyarakat.
Bernadus tinggal bersama tantenya, Marselina Sabu Platin (46), di Jalan Kampung Timur RT 031, Kelurahan Nunukan Barat. Siapa sangka, rumah tempat ia menumpang justru menjadi saksi bisu akhir hidupnya. Peristiwa itu pertama kali diketahui oleh keponakannya, Anjelia Lion Ema Leza (7), yang berlari ke tempat kerja ibunya sambil berteriak, “Mama, cepat pulang! Abang Teus gantung diri di rumah!”
Sang ibu yang panik langsung bergegas pulang. Saat tiba, ia menemukan keponakannya sudah tak bernyawa, tergantung di gelagar rumah. Marselina segera melapor ke Ketua RT dan warga sekitar, lalu menghubungi polisi.
Kapolres Nunukan AKBP Bonifasius Rumbewas, melalui Kasi Humas Ipda Sunarwan, membenarkan kejadian tersebut. “Benar, kami menerima laporan tentang penemuan mayat gantung diri di wilayah Kelurahan Nunukan Barat. Tim sudah melakukan olah TKP dan mengamankan barang bukti,” ujarnya.
Polisi menemukan tali nilon, kursi, pisau, pakaian, korek gas, rokok, dan uang tunai Rp4.000 di lokasi. Berdasarkan keterangan awal keluarga, korban belakangan sering terlihat murung, melamun, dan menyendiri. Namun motif pasti masih dalam penyelidikan. “Jenazah korban sudah dievakuasi ke RSUD Nunukan untuk pemeriksaan medis,” kata Sunarwan.
Kematian Bernadus menambah daftar panjang kasus bunuh diri di daerah-daerah pinggiran, yang kerap diabaikan di balik hiruk-pikuk pembangunan. Nunukan, sebagai daerah perbatasan, selama ini lebih sibuk dengan urusan ekonomi lintas batas ketimbang membangun sistem dukungan psikologis bagi warganya.
Kepolisian memang mengimbau masyarakat untuk lebih peduli terhadap kondisi psikologis orang di sekitar. “Apabila ada tanda-tanda depresi atau tekanan emosional, segera ajak bicara dan cari bantuan agar hal serupa tidak terjadi lagi,” tutur Ipda Sunarwan. Namun imbauan semacam itu sering berhenti di tataran retorika, tanpa ada mekanisme nyata di lapangan.
Di banyak daerah, tidak ada layanan konseling gratis, tenaga psikolog di puskesmas sangat minim, dan masyarakat masih menganggap depresi sebagai kelemahan pribadi, bukan kondisi medis yang perlu penanganan. Akibatnya, banyak kasus seperti Bernadus yang baru mendapat perhatian setelah nyawa melayang.
Tragedi ini seharusnya menjadi alarm serius bagi pemerintah daerah dan instansi kesehatan untuk menaruh perhatian lebih pada isu kesehatan mental, terutama bagi anak muda perantau yang hidup jauh dari keluarga. Bernadus mungkin sudah tiada, tetapi kisahnya mencerminkan ratusan wajah muda lain yang diam dalam tekanan, tanpa tempat bersandar. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan