BALANGAN – Desa Wonorejo, Kecamatan Juai, Kabupaten Balangan, yang dulunya ramai oleh warga transmigran, kini tinggal nama. Sejak tahun 2020, rumah terakhir di desa itu telah digusur, dan seluruh lahannya kini menjadi bagian dari kawasan pertambangan. Ironisnya, meski desa itu sudah tidak lagi berpenghuni, anggaran dan administrasi pemerintahan desa masih terus berjalan, seolah Wonorejo masih hidup di atas peta.
Pada Senin (20/10/2025), Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Balangan dan DPRD setempat turun langsung ke Desa Sumber Rejeki, tempat sebagian besar eks warga Wonorejo kini bermukim. Agenda mereka bukan sekadar kunjungan biasa, tetapi untuk menyosialisasikan rencana penggabungan Wonorejo ke Sumber Rejeki yang kini disiapkan dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah (Raperda).
Pjs Kepala Desa Wonorejo, Misnuraga, menyatakan pihaknya menerima jika memang aturan mengharuskan penggabungan desa dilakukan, dengan satu catatan: ada kompensasi bagi aparat dan anggota BPD yang akan kehilangan jabatan.
“Apabila penggabungan desa disahkan, kami berharap adanya kompensasi bagi BPD dan aparat di akhir tugas mereka,” ujarnya.
Meski wilayahnya sudah kosong, 54 kepala keluarga (KK) masih tercatat secara administratif sebagai warga Wonorejo. Mereka tersebar di sejumlah wilayah Kabupaten Balangan, sebagian besar di sekitar Sumber Rejeki. Namun, anehnya, alokasi dana desa (ADD) masih dikucurkan atas nama Wonorejo padahal tak ada lagi warga yang benar-benar tinggal di sana.
Kepala Desa Sumber Rejeki, Kuwat, menyebut pihaknya siap menerima penggabungan itu. “Kami sudah lama mendengar rencana ini. Kalau untuk kebaikan bersama, tentu kami siap,” katanya.
Ketua Propam Perda DPRD Balangan, Syihabuddin, mengungkapkan bahwa wacana penghapusan Wonorejo sudah bergulir sejak 2017. Namun, alih-alih dihapus, skemanya kini berubah menjadi penggabungan.
“Sejak tahun 2017 sudah masuk Program Legislasi (Prolega) di DPRD Kabupaten Balangan, kemudian dilakukan tahap penggalian informasi terhadap masyarakat,” jelasnya.
Menurutnya, proses panjang itu diperlukan untuk menghindari konflik di kemudian hari. “Kami tidak mau masyarakat nantinya saat sudah dijadikan Perda akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari,” tambah Syihab.
Namun dari sisi publik, penggabungan ini mengundang pertanyaan tajam: mengapa butuh delapan tahun hanya untuk memutuskan nasib sebuah desa yang sudah lama kosong? Apalagi selama bertahun-tahun, anggaran desa tetap berjalan tanpa warga yang menerima manfaat langsung.
Ketua Komisi III DPRD Balangan, Hafiz, menyatakan pembahasan Raperda juga mencakup pengelolaan aset dan lahan Wonorejo yang kini sudah masuk wilayah konsesi pertambangan. Ia menegaskan, penggabungan tidak boleh merugikan masyarakat. “Apabila tidak menimbulkan kerugian, maka Raperda penggabungan desa ini akan segera disahkan,” katanya.
Langkah penggabungan ini memang bisa memperkuat administrasi dan efisiensi keuangan desa. Namun, publik juga menilai kebijakan ini datang terlambat. Desa Wonorejo sudah lama ‘mati’, tapi anggarannya masih hidup. Penggabungan baru dilakukan setelah seluruh aset beralih ke perusahaan tambang.
Jika pemerintah dan legislatif ingin menegakkan tata kelola desa yang bersih, transparansi penggunaan dana desa “hantu” seperti Wonorejo perlu diungkap lebih dulu, agar kebijakan penggabungan tidak hanya menjadi formalitas administratif belaka. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan