NUNUKAN – Di tengah penurunan angka deportasi pekerja migran dari Malaysia, wajah muram persoalan tenaga kerja Indonesia di perbatasan Kalimantan Utara masih jauh dari kata selesai. Data boleh menunjukkan penurunan, namun kenyataan di lapangan tetap memperlihatkan luka lama: kemiskinan, ketidakpastian, dan jebakan sindikat calo yang menjerat warga tanpa pilihan.
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kalimantan Utara mencatat, sejak Januari hingga Oktober 2025 terdapat 1.735 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dideportasi melalui Pelabuhan Tunon Taka Nunukan. Jumlah ini memang menurun dibanding periode yang sama tahun 2024 yang mencapai 2.295 orang. Namun penurunan tersebut bukan berarti masalah tuntas.
Koordinator Perlindungan BP3MI Kaltara, Asriansyah, mengklaim penurunan ini merupakan hasil kerja keras aparat gabungan. “Penurunan ini merupakan hasil dari langkah preventif secara berkelanjutan yang kami lakukan bersama Polres Nunukan, TNI, Satpol PP, dan instansi perbatasan lainnya,” ujarnya, Selasa (28/10/2025).
Sayangnya, di balik angka-angka itu, praktik pengiriman tenaga kerja ilegal tetap marak. Jalur tikus di sepanjang garis perbatasan Indonesia–Malaysia terus dimanfaatkan oleh calo dan sindikat yang mencari keuntungan dari penderitaan orang kecil. “Pengawasan di jalur tidak resmi ini sangat menantang karena wilayah perbatasan laut kita cukup luas. Sementara jumlah personel pengawas terbatas,” jelasnya.
Keterbatasan personel pengawas seolah menjadi alasan klasik yang terus diulang tanpa solusi nyata. Sementara itu, masyarakat miskin tetap menjadi korban paling nyata dari lemahnya pengawasan dan absennya keberpihakan kebijakan negara terhadap warga di tapal batas.
Selain faktor ekonomi, rendahnya kesadaran hukum dan minimnya pemahaman tentang risiko bekerja secara ilegal menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Banyak dari mereka berangkat tanpa dokumen, kontrak kerja, atau perlindungan hukum. Akibatnya, para pekerja migran ini sering kali menjadi korban eksploitasi, kekerasan, bahkan perdagangan orang.
“Kadang ibunya kerja di Malaysia, anaknya ikut menyusul kerja tanpa dokumen resmi. Sudah dianggap biasa karena mereka merasa punya keluarga di sana,” ungkap Asriansyah.
Lebih ironis lagi, sebagian dari mereka telah menetap dan berkeluarga di Malaysia.
“Banyak dari mereka yang kami pulangkan sudah beranak pinak di Malaysia. Anak, istri, suami atau orang tua mereka ada di sana. Jadi meski sudah dideportasi, bagaimanapun mereka akan berusaha kembali,” katanya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa deportasi hanyalah solusi sementara. Pemerintah gagal menjawab akar persoalan sosial-ekonomi yang membuat warga di perbatasan memilih jalan berisiko demi menyambung hidup.
Lebih jauh, BP3MI Kaltara juga mengakui masih adanya peran calo tenaga kerja ilegal yang memanfaatkan kebutuhan ekonomi masyarakat. Mereka menjual mimpi keberangkatan cepat ke luar negeri dengan harga mahal, tanpa jaminan keselamatan.
“ Kami tetap menemukan adanya peran calo yang menyasar masyarakat, terutama yang pendidikan dan ekonominya rendah. Ini tantangan berat yang masih terus kami tindak,” tegas Asriansyah.
BP3MI kini menggencarkan operasi gabungan dan sweeping terhadap calon PMI non-prosedural di pelabuhan dan rumah penampungan ilegal. Namun upaya ini belum menyentuh akar persoalan kemiskinan dan keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri.
Pemerintah daerah dan pusat perlu merenungkan kembali: sampai kapan warga miskin di perbatasan harus dijadikan statistik deportasi tiap tahun, sementara lapangan kerja layak di negeri sendiri tak kunjung tersedia?
“ Kami terus mengedukasi masyarakat bahwa bekerja ke luar negeri itu sah, tapi harus ikut prosedur resmi agar mendapat perlindungan,” pungkas Asriansyah. Pernyataan ini terdengar baik, namun tanpa kebijakan ekonomi yang memihak rakyat kecil, edukasi hanyalah kata-kata yang tenggelam di laut perbatasan Nunukan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan