PONTIANAK – Kasus dugaan intimidasi terhadap jurnalis berinisial DB terus menjadi sorotan setelah yang bersangkutan memutuskan menempuh jalur hukum. DB menyatakan telah menunjuk tujuh kuasa hukum nasional untuk membawa perkara ini ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri). Langkah ini diambil setelah upaya penyelesaian damai tidak membuahkan hasil.
“Sampai saat ini belum ada iktikad baik dari pihak-pihak yang terlibat, justru saling lempar kesalahan. Permintaan saya sederhana: minta maaf dan selesai, walau keluarga saya masih belum bisa menerima peristiwa pengancaman ini,” ujar DB kepada awak media.
Menurut DB, peristiwa yang dialaminya harus menjadi contoh agar ke depan tidak ada lagi tindakan intimidatif, terlebih terhadap jurnalis yang menjalankan tugas peliputan di lapangan. Ia menekankan bahwa kebebasan pers harus dijaga, dan masyarakat tidak boleh menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan.
“Setidaknya peristiwa ini menjadi pelajaran untuk semua pihak bahwa ke depannya tidak boleh ada lagi pengancaman kepada masyarakat apalagi jurnalis, karena hal ini sangat serius dan berbahaya,” tegasnya.
Kasus ini juga mencuat karena adanya dugaan kebocoran data pribadi. Dokumen yang ditunjukkan dalam pertemuan diduga berbentuk file PDF berlogo Siber Polda Kalimantan Barat yang memuat informasi sensitif, mulai dari titik koordinat rumah, data keluarga, hingga daftar riwayat hidup (CV) DB.
Dalam upaya hukumnya, DB menunjuk tujuh penasihat hukum, yakni Syamsul Jahidin, Ryan Istiyanto, Alfius Indrawan H., Nunung Kurnia, Charles Mangaraja Tampubolon, Gabriel Frans Possenti Masyur Marung, dan Parlin Silitonga. Nama-nama tersebut dikenal aktif dalam isu perlindungan hukum dan kebebasan sipil.
Salah satu kuasa hukum, Syamsul Jahidin, mengecam keras tindakan yang dialami kliennya. “Mereka pikir ini negara punya mereka apa?? Seenaknya berbuat, mentang-mentang dekat kekuasaan. Kasian masyarakat diperlakukan begini terus. Pokoknya saya akan bawa masalah ini ke Bareskrim, Komnas HAM, DPR RI, hingga ke Presiden,” ujarnya.
Syamsul juga menyinggung dugaan kebocoran data yang menurutnya sangat berbahaya karena dapat membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan melemahkan kepercayaan publik terhadap aparat. Ia menyambungkan kasus ini dengan gugatan yang sedang dia ajukan di Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Polri.
“Dan ini keterlaluan. Data resmi dari suatu institusi bisa sampai bocor begini. Kita harus lawan ini. Kebetulan sangat nyambung juga dengan gugatan saya sekarang di Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 18 ayat (1) UU Polri yang menyatakan bahwa polisi dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Itu pasal yang berbahaya,” tambahnya.
Situasi yang semula dianggap sebagai konflik personal kini berubah menjadi isu serius yang menyentuh persoalan hak atas rasa aman, perlindungan data pribadi, dan kebebasan pers di negara demokrasi. DB dan tim hukumnya menegaskan tidak akan berhenti sebelum ada kejelasan dan pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak-pihak yang disebut dalam pertemuan yang diduga bernuansa intimidatif, termasuk pihak AS dan mereka yang disebut sebagai fasilitator. []
Redaksi11