KUTAI TIMUR – Kepala Dinas Pertanahan Kutai Timur, Simon Salombe, meluruskan pemahaman publik terkait istilah “tanah negara bebas” yang kerap disalahartikan sebagai lahan tanpa penguasaan. Ia menegaskan bahwa ketersediaan tanah semacam itu di Kutim kini sangat terbatas dan tidak semuanya layak untuk dimanfaatkan secara produktif.
Dalam penjelasannya kepada Beritaborneo.com di ruang kerja, Selasa (21/10/2025) lalu, Simon menguraikan bahwa tanah negara terbagi dalam dua kategori besar, yakni kawasan dan nonkawasan. “Tanah negara itu, itu kawasan yang masih dimiliki oleh negara. Yang nonkawasan, itulah yang bisa dikuasai oleh masyarakat atau investor, itu namanya Areal Penggunaan Lain (APL) atau non kawasan,” jelasnya.
Menurutnya, tanah negara bebas adalah lahan yang belum memiliki hak atas tanah dan tidak termasuk dalam kawasan hutan maupun perikanan. Jenis tanah ini dapat digunakan oleh masyarakat maupun badan hukum, sepanjang sesuai ketentuan hukum yang berlaku. “Sehingga, boleh dimanfaatkan oleh, entah itu perorangan, dalam hal ini masyarakat, ataupun badan hukum, perusahaan, koperasi,” tegas Simon.
Namun, ia mengakui kondisi di lapangan tidak lagi ideal seperti sebelumnya. Lahan yang benar-benar bebas dan belum dimanfaatkan sudah semakin langka. “Kalau dibilang ada, masih ada, cuma tidak terlalu luas, tapi tidak layak lagi untuk kebun,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa sebagian besar lahan produktif sudah dikuasai oleh investor, sementara lahan tersisa umumnya memiliki keterbatasan dalam hal kesesuaian lahan.
Dalam aspek hukum, Simon menjelaskan mekanisme penguasaan tanah yang harus ditempuh masyarakat. Prosesnya dimulai dari bukti penggarapan sebagai dasar penguasaan fisik. “Dari bukti penggarapan itu, maka sudah bisa dianggap itu dia menguasai. Maka, dia dapat menindaklanjuti dengan hak surat. Pertama adalah SKPT itu tadi, Surat Keterangan Penguasaan Tanah, sesuai dengan Perbub itu,” katanya.
Sementara bagi perusahaan, penguasaan lahan dilakukan melalui tahapan berbeda, yakni diawali dengan penerbitan izin lokasi. “Perusahaan itu, kan, mendapat izin lokasi dulu. Setelah itu, dia melakukan penggarapan. Setelah dia menggarap, maka baru diusulkan menjadi HGU, hak guna usaha,” tambahnya.
Simon juga menyebutkan, Dinas Pertanahan Kutim membagi pengelolaan sektor pertanahan ke dalam tiga bidang utama Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Penatagunaan Tanah, serta Pengadaan Tanah, Ganti Rugi, dan Redistribusi Tanah. Struktur tersebut menjadi instrumen penting dalam memastikan setiap proses pertanahan di Kutai Timur berjalan transparan dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat maupun dunia usaha.
Dengan sistem tersebut, Pemkab Kutim berharap tata kelola lahan di daerah ini tetap berkeadilan dan mampu mengakomodasi kebutuhan pembangunan tanpa mengabaikan hak masyarakat.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan