KUTAI KARTANEGARA – Rencana pembongkaran Jembatan Besi di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), tengah menjadi polemik yang mempertemukan kepentingan pelestarian sejarah dengan tuntutan pembangunan infrastruktur. Jembatan yang dibangun pada masa kolonial Belanda itu kini berada dalam kondisi yang memprihatinkan, namun di saat bersamaan juga dipandang sebagai simbol identitas daerah yang patut dijaga keberadaannya.
Langkah awal koordinasi telah dilakukan oleh PT Putra Nanggroe Aceh selaku kontraktor proyek, dengan mengirimkan surat resmi kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kukar. Surat tersebut menjadi penanda dimulainya proses yang berpotensi berujung pada pembongkaran struktur tua yang telah lama menjadi bagian dari lanskap kota Tenggarong.
Menanggapi hal tersebut, Disdikbud Kukar memilih mengambil sikap hati-hati. Kepala Disdikbud Kukar, Thauhid Afrilian Noor, menyampaikan bahwa pihaknya akan mengusulkan penundaan pembongkaran yang awalnya direncanakan pada 15 April 2025. “Kami akan menyurati pelaksana proyek agar proses pembongkaran ditunda. Senin nanti akan ada rapat bersama Kadis PU, sultan, sempekat, dan tokoh lainnya untuk membahas nasib Jembatan Besi,” ujar Thauhid pada Minggu, 13 April 2025.
Di pihak lain, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kukar menyatakan bahwa kondisi jembatan sudah tidak memungkinkan untuk tetap dipertahankan. Kepala Bidang Bina Marga, Linda Juniarti, menyoroti tingkat kerusakan struktural akibat korosi yang dinilai membahayakan keselamatan pengguna jembatan. “Kami harus jujur bahwa jembatan ini tidak lagi aman. Kalau nanti terjadi keruntuhan, siapa yang bertanggung jawab? Jangan sampai seperti kejadian Jembatan Kukar dulu terulang,” tegas Linda dalam keterangannya.
Selain alasan keselamatan, Linda juga menekankan pentingnya pembangunan jembatan baru yang lebih lebar untuk merespons kepadatan lalu lintas yang sering terjadi pada jam-jam sibuk. “Kalau pagi dan sore, apalagi saat anak sekolah, lalu lintas di kawasan ini sangat padat,” tambahnya.
Namun demikian, sebagian masyarakat menyuarakan penolakan terhadap rencana tersebut. Jembatan Besi yang termasuk dalam daftar Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) dinilai memiliki nilai historis dan emosional yang tinggi bagi warga Tenggarong. Keberadaannya bukan sekadar jalur penghubung, tetapi juga bagian dari warisan arsitektur yang merekam perjalanan sejarah kota tersebut.
Pemerintah daerah kini dihadapkan pada pilihan sulit antara memprioritaskan modernisasi infrastruktur demi kenyamanan dan keselamatan publik atau mempertahankan situs bersejarah yang memiliki nilai kultural. Keputusan akhir terkait nasib Jembatan Besi masih menunggu hasil rapat bersama yang akan melibatkan berbagai pihak, termasuk Kesultanan Kutai, tokoh adat, dan instansi teknis.
Situasi ini mencerminkan tantangan besar dalam pengelolaan pembangunan daerah yang memiliki kekayaan warisan budaya. Ketika sebuah kebijakan pembangunan menyentuh aspek sejarah dan identitas lokal, maka proses pengambilan keputusan pun harus dilakukan secara cermat, inklusif, dan berimbang agar tidak mengorbankan masa lalu demi masa depan, atau sebaliknya. []
Penulis: Dedy Irawan | Penyunting: M. Reza Danuarta