NUSA TENGGARA BARAT – Seorang dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang berinisial W, dihadirkan dalam olah tempat kejadian perkara (TKP) kasus dugaan pelecehan terhadap mahasiswi, Kamis (22/5/2025). Dalam olah TKP tersebut, W memperagakan 65 adegan yang terjadi di dua lokasi berbeda di dalam Ma’had Al-Jamiah UIN Mataram, yang merupakan asrama khusus mahasiswa. Meskipun belum ditetapkan sebagai tersangka, W telah mengakui perbuatannya.
Pendamping korban, Joko, menyatakan bahwa W memperagakan kronologi pencabulan menurut versinya sendiri. Berdasarkan pengakuan W, identitas tujuh korban yang telah melapor berbeda dengan korban yang disebutkan dalam pengakuan pelaku. “Tadi pelaku dihadirkan, belum tersangka, mudah-mudahan nanti malam atau besok pagi sudah tersangka,” ujar Joko. Ia juga menyebutkan kemungkinan bertambahnya jumlah korban menjadi sembilan atau sepuluh orang jika memperhitungkan selisih nama yang ditemukan dalam laporan.
Dirreskrimum Polda NTB, Kombes Pol. Syarif Hidayat, mengungkapkan bahwa pihak kepolisian tengah mendalami unsur pemaksaan yang dialami oleh para mahasiswi penerima beasiswa Bidikmisi yang menjadi korban pelecehan. “Masih kita lakukan proses penyidikan, semoga semua bisa cepat sampai pemberkasan,” kata Syarif Hidayat.
Aksi pencabulan ini diduga berlangsung antara tahun 2021 hingga 2024, dengan lokasi kejadian di kamar 216 asrama putra serta kamar pelaku sendiri. “Terlapor menyampaikan telah melakukan pelecehan di dua tempat di kampus. Tempat pertama adalah tempat tidur terlapor, ada empat korban di sana,” tambahnya. Selain menjadi dosen, W juga menjabat sebagai pimpinan Ma’had UIN Mataram, sehingga para korban merupakan mahasiswi yang tinggal di asrama tersebut.
Seorang alumni yang berinisial MN mengaku telah mendengar tentang kasus pencabulan sejak 2021. MN menilai pihak kampus terkesan menutupi aksi tersebut. “Banyak yang melapor pernah kena pelecehan yang dilakukan oknum dosen ini, cuma tidak pernah ada yang digubris karena dia dianggap cukup berpengaruh di kampus,” ungkap MN. Ia juga hampir menjadi korban pencabulan, namun berhasil menghindar.
MN menambahkan bahwa banyak korban yang tidak menyadari bahwa mereka adalah korban, karena modus yang digunakan pelaku adalah agama. “Korban tidak ada yang berani speak up, karena mereka tidak menyadari mereka korban, karena modusnya agama,” ujarnya. Dari tujuh korban yang telah melapor, beberapa di antaranya masih aktif sebagai mahasiswi, sementara lainnya sudah menjadi alumni. MN juga mengungkapkan kemungkinan adanya korban lain, mengingat kasus ini telah berlangsung cukup lama. []
Redaksi11