JAKARTA – Komisi II DPR RI bersiap memainkan peran sebagai mediator dalam menyelesaikan polemik batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara terkait klaim atas empat pulau. Sengketa administratif ini mencuat setelah munculnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang dinilai kontroversial.
Dalam waktu dekat, DPR RI akan memanggil sejumlah pejabat penting untuk membahas permasalahan tersebut secara menyeluruh. Mereka adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, serta Bupati Aceh Singkil Safriadi Oyon dan Bupati Tapanuli Tengah Masinto Pasaribu. “Segera kami jadwalkan, ya. Sekarang (DPR RI) masih reses,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Bahtra Banong, Sabtu (14/06/2025) di Jakarta.
Menurut Bahtra, pemanggilan tersebut akan dilakukan setelah masa reses DPR RI yang berlangsung dari 27 Mei hingga 23 Juni 2025. Komisi II bertekad menjadi fasilitator dalam proses mediasi agar permasalahan ini dapat dituntaskan dengan pendekatan kekeluargaan dan semangat persatuan. “Komisi II DPR RI akan fasilitasi pertemuan Kemendagri, Pemprov Aceh, Pemprov Sumut, Pemkab Aceh Singkil dan Pemkab Tapanuli Tengah untuk duduk bersama mencari solusi yang tepat dengan asas kekeluargaan dan persatuan,” jelasnya.
Bahtra menekankan pentingnya pendekatan yang menyeluruh dan bijaksana dalam menyelesaikan konflik tersebut. Ia menyerukan agar semua pihak menghindari provokasi, apalagi membawa isu ini ke ranah politik yang bisa memecah belah. “Terutama sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tanpa provokasi perpecahan, apalagi digiring ke ranah isu politik,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa konflik batas wilayah tidak hanya menyangkut teknis administratif, melainkan juga persoalan identitas, sejarah, sosial, dan ekonomi masyarakat di kedua provinsi. Bahtra menjabarkan empat pendekatan strategis yang menurutnya perlu dijalankan. Pertama, penundaan pelaksanaan Kepmendagri 300.2.2-2138/2025 sembari dilakukan klarifikasi lapangan. “Revisi Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 jika terbukti secara yuridis dan historis bahwa empat pulau tersebut milik Aceh,” katanya.
Kedua, pembentukan Tim Klarifikasi Wilayah yang melibatkan Kemendagri, Pemprov Aceh dan Sumut, Badan Informasi Geospasial (BIG), BPN, dan DPR RI. Ketiga, pelibatan masyarakat lokal serta lembaga adat Aceh untuk memberikan perspektif dari akar rumput.
Keempat, memastikan bahwa setiap kebijakan tidak bertentangan dengan konstitusi, termasuk Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan pengakuan terhadap kekhususan daerah, serta peraturan-peraturan lain seperti UU Pemerintahan Aceh dan PP No. 62 Tahun 2009. “Negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa (termasuk Aceh), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang mengatur batas wilayah negara,” ungkap Bahtra.
Bahtra menambahkan, konflik serupa terkait batas wilayah juga terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia. Sebut saja perselisihan antara Nusa Tenggara Timur dan Maluku mengenai Pulau Talan dan Pulau Babi, serta sengketa di Kalimantan dan perairan Jakarta Banten. Melalui mediasi yang terbuka, adil, dan partisipatif, DPR RI berharap konflik empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara ini dapat menjadi contoh penyelesaian yang konstruktif dan damai. [] Admin03