SAMARINDA – Penggunaan jalan nasional Poros Sangatta-Bengalon di Kabupaten Kutai Timur oleh perusahaan tambang batu bara menuai sorotan tajam dari DPRD Provinsi Kalimantan Timur. Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Jahidin, menyampaikan kritik keras terhadap praktik PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang memanfaatkan jalur tersebut sebagai rute operasional hauling tanpa menyediakan jalur alternatif bagi masyarakat.
Jalan yang semestinya menjadi akses publik utama kini justru menjadi jalur aktivitas industri, yang menurut Jahidin tidak hanya melanggar prinsip penggunaan infrastruktur negara, tetapi juga merugikan masyarakat yang menggantungkan mobilitasnya pada jalur tersebut.
“Jalan itu adalah jalan nasional atau negara, satu-satunya penghubung dari Berau ke Kutim dan ke Samarinda, tapi kini dimanfaatkan oleh PT KPC sebagai jalur angkut batu bara, ini tidak benar,” ujar Jahidin kepada awak media di Samarinda, Minggu (25/05/2025).
Ia menjelaskan bahwa jalan nasional tersebut adalah jalur vital distribusi logistik dan pergerakan masyarakat, namun kini terdapat aktivitas hauling batu bara yang dilakukan dengan sistem menyilang (crossing) di beberapa titik. Hal ini dinilai berbahaya dan menimbulkan ketidaknyamanan.
“Kalau memang ingin menggunakan, siapkan dulu jalan alternatifnya, selesaikan jalan penggantinya, ini belum dikerjakan, tapi sudah dimanfaatkan dan ini jelas penyimpangan,” katanya.
Dalam rapat bersama antara DPRD Kaltim dan pihak PT KPC, perusahaan disebut berdalih bahwa mereka telah mengantongi rekomendasi dari instansi teknis terkait. Namun, menurut Jahidin, rekomendasi itu belum memenuhi syarat sebagai dasar legal. “Rekomendasi itu bukan izin, itu hanya syarat administratif untuk memperoleh izin resmi, kalau belum ada izin sah maka penggunaan jalan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum,” ujarnya.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa yang juga menyandang gelar doktor di bidang hukum ini menyoroti dampak langsung terhadap masyarakat. Setiap kali truk hauling melintas, petugas keamanan perusahaan menghentikan kendaraan umum yang sedang melaju, menyebabkan antrean kendaraan hingga belasan menit. “Truk batu bara mereka menyebrang mengakibatkan pengguna jalan distop dan ini mengganggu aktivitas warga dan pengguna jalan lainnya,” jelasnya.
Jahidin menekankan bahwa jalan nasional merupakan fasilitas publik milik negara yang tidak boleh digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu, sekalipun pihak perusahaan telah membayar kewajiban pajak. Ia juga mendorong aparat penegak hukum untuk segera menertibkan aktivitas tersebut demi menjaga kepentingan umum.
“Kalau memang ingin menggunakan, harus ada jalan penggantinya dulu dan jalan nasional itu bukan untuk kepentingan segelintir pihak serta itu milik rakyat,” tegasnya. []
Penulis: Guntur Riyadi | Penyunting: M. Reza Danuarta