DPRD Samarinda Kritisi Kebijakan Efisiensi Anggaran dan Program MBG

SAMARINDA – Kebijakan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang mewajibkan efisiensi anggaran sebesar Rp306,7 triliun di kementerian dan lembaga (K/L) menuai penolakan dari sejumlah pihak di daerah. Salah satunya adalah Ketua Komisi I DPRD Samarinda, Samri Shaputra, yang menilai kebijakan tersebut dapat memperburuk kondisi keuangan daerah dan menghambat perencanaan pembangunan di daerah.

Samri secara tegas menolak kebijakan efisiensi anggaran yang digagas oleh pemerintah pusat tersebut. Ia menyampaikan bahwa kebijakan ini justru kontraproduktif terhadap upaya pembangunan di Samarinda.

“Kalau ditanya setuju atau tidak, jelas kami tidak setuju dengan efisiensi itu,” ujar Samri kepada awak media, Selasa (25/02/2025).

Ia menjelaskan, anggaran yang saat ini dimiliki Samarinda sudah sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Jika ada pemotongan anggaran lebih lanjut, maka perencanaan program jangka panjang akan semakin terhambat.

“Anggaran yang ada sekarang saja tidak cukup. Apalagi kalau ada efisiensi, otomatis akan ada pengurangan. Akhirnya, kami akan kesulitan dalam perencanaan pembangunan,” jelasnya.

Ia mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini dapat menggangu program-program prioritas yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kritik Samri tidak hanya tertuju pada kebijakan efisiensi anggaran, tetapi juga pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu alasan penghematan anggaran. Menurutnya, program tersebut masih kontroversial, terutama terkait dengan efektivitas pemenuhan gizi bagi masyarakat.

“Dengan nilai Rp10 hingga 15 ribu per porsi, apakah gizinya benar-benar terpenuhi? Jangan sampai program ini malah menimbulkan masalah baru,” ungkapnya.

Samri mengusulkan agar dana yang dialokasikan untuk MBG dialihkan ke sektor lain yang lebih mendesak, seperti pendidikan gratis.

“Mereka tidak perlu makan gratis, tapi pendidikan gratis. Anggaran MBG sebaiknya dialihkan ke program yang lebih langsung menyentuh masyarakat,” ujarnya.

Ia menilai, bantuan pendidikan atau tunjangan langsung lebih berdampak pada pengurangan kemiskinan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah.

Politisi asal Samarinda ini juga menyatakan bahwa ia akan mendukung revisi terhadap program MBG jika pemerintah pusat membuka ruang evaluasi.

“Kalau pemerintah mau merevisi MBG, kami setuju. Lebih baik dialihkan ke sektor lain, seperti pendidikan gratis,” tambah Samri.

Inpres Nomor 1 Tahun 2025 sendiri ditujukan untuk memperkuat program prioritas nasional, termasuk perluasan program MBG. Namun, penolakan yang datang dari daerah seperti Samarinda menunjukkan perlunya adanya dialog yang lebih intensif antara pemerintah pusat dan daerah, agar kebijakan yang diambil tidak mengorbankan kepentingan lokal.

Analis kebijakan publik, Ahmad Faisal, menilai polemik ini mencerminkan adanya ketidakselarasan antara perencanaan anggaran pusat dan daerah.

“Efisiensi anggaran seharusnya tidak mengurangi kemampuan daerah dalam menjalankan mandatnya. Diperlukan skema yang lebih adil agar daerah tidak merasa terpinggirkan dalam program-program nasional,” kata Ahmad.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah pusat mengenai kritik yang disampaikan oleh pihak-pihak di daerah. Namun, kritik ini semakin menegaskan pentingnya adanya komunikasi yang lebih baik antara pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan yang tidak hanya berfokus pada efisiensi, tetapi juga keberlanjutan pembangunan daerah. []

Redaksi03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X